Contoh-Contoh
Proses pemberdayaan masyarakat yang menuju pada masyarakat yang tidak tergantung pada pihak luar tidaklah dilakukan dengan intants. Proses ini berlangsung bertahap sesuai dengan respons dan kesiapan masyarakat sebagai subjek. Tiga contoh berikut dipetik dari pengalaman 40 tahun Yayasan Binaswadaya, Program Pembinaan Petani nelayan Kecil (P4K) Departemen Pertanian dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Kelompok tani “MAJU”. Berawal di tahun 1973 ketika 11 orang petani ingin memiliki Petromak. Mereka memilih iuran untuk memiliki barang yang harganya cukup mahal kala itu. Iuran terus dilakukan hingga semua orang memiliki petromak. Belajar dari keberhasilan tersebut, mereka terus iuran untuk membeli berbagai kebutuhan lainnya seperti kursi, meja dan lemari.
Lima tahun kemudian muncul program pemerintah Inmas dan Bimas. Program tersebut mewajibkan terbentuknya organisasi bagi mereka yang ingin berkumpul dan berserikat. Akhirnya, kesebelasan tersebut membentuk Kelompok Tani (KT) “MAJU” yang anggota bertambah menjadi 18 orang dan berlokasi di Nanggulan, kulon Progo, DI. Yogyakarta. Kelompok ini mulai mengembangkan unit usaha untuk memenuhi berbagai kebutuhan petani. Kumpulan yang dilakukan setiap selapan (35 hari) dilakukan untuk menemukan solusi terhadap berbagai masalah pertanian.
Kegiatan tersebut menjadi semakin variatif sekitar tahun 1980’an. Kebutuhan petani terhadap benih padi yang berkualitas dan murah menjadi kegundahan petani di nanggulan dan sekitarnya. KT “MAJU” melihat kebutuhan tersebut sebagai peluang pasar yang harus ditangkap. Di pihak lain, gabah kering yang digunakan untuk konsumsi harga jualnya lebih rendah ketimbang gabah yang akan dijadikan benih padi. Melihat berbagai peluang dan manfaat tersebut, KT “MAJU” memberanikan diri untuk mengembangkan usaha pembenihan padi.
Setelah melakukan penangkaran bibit selama 6 musim tanam akhirnya mereka dapat menghasilkan benih berkualitas. Pada tahun 1984 KT “MAJU” mendapatkan sertifikat penangkar. Bermodal sertifikat hasil, mereka bekerja sama dengan produsen benih dari Yogyakarta untuk menghasilkan benih dalam jumlah yang lebih banyak. Berdasarkan kerjasama tersebut mereka berhasil memproduksi benih sejumlah 15-20 Ton kering. Usaha ini terhenti tahun 1997 karena berbagai persoalan dan krisis.
Tahu 2004, enam tahun kemudian secercah harapan baru mulai tumbuh. KT ”MAJU” kembali mengikuti pelatihan penangkaran benih padi (label ungu). Anggota KT ”MAJU” akhirnya mendapatkan kepercayaan diri kembali untuk memulai usaha pembenihan padi setelah pelatihan tersebut.
Bermodal pinjaman Rp.6.000.000,00 dari Departemen Pertanian untuk usaha benih. KT “MAJU” merintis kembali usaha yang telah lana ditinggalkan. Bantuan modal tersebut membantu mereka untuk memproduksi sejumlah 7 ton benih padi kering pda tahun 2005. Kurang dari setahun kemudian setelah mendapatkan bantuan berupa Gudang Benih alat pengeringan, produksi benih menigkat menjadi 8,5 ton. Bahkan benih produksinya telah mendapatkan sertifikasi dari Departemen Pertanian.
Benih padi yang diproduksi memanfaatkan tanah kas desa yang disewa dikelola bersama oleh anggota. Tidak ada upah bagi pekerja yang ikut mengelola tanah kas desa. Pendapatan mereka dihitung dari SHU yang dibagikan setiap tahunnya. Keuntungan lainnya yang diterima anggota antara lain dalam penjualan hasil pertanian mereka. Anggota menjual sebagian hasil pertanian mereka ke kelompok dan sisanya dikonsumsi sendiri. Harga yang diberikan kelompok cukup bersaing.
Tak hanya berkutat pada produksi benih, KT ”MAJU” juga mengembangkan usaha penanganan pasca produksi. Iuran yang terus menerus dilakukan membuat mereka mampu memiliki alat pengolahan pertanian seperti traktor, Huller (alat mengolah gabah menjadi beras) dan pengering padi . Penyediaan jasa tersebut digunakan oleh anggota. Apabila kebutuhan anggota sudah terpenuhi barulah berbagai alat ersebut disewakan kepada petani yang non anggota maupun petani dari desa lainnya.
Selain penyewaan alat pertanian dan produksi benih, KT ”MAJU” juga menyediakan jasa simpan pinjam. Tak hanya meminjamkan modal dalam bentuk uang tetapi juga meminjamkan benih. Bahkan petani yang bukan anggota pun bisa meminjam lebih dan baru dibayar setelah selesai panen.
Hingga saat ini KT ”MAJU” beranggotakan Anggota aktif (33 orang). Anggota setengah aktif (50 orang) yaitu anggota tidak mempunyai simpanan pokok, wajib dan sukarela tetapi setiap ada kegiatan usaha berkaitan tani selalu ikut. Dan pemanfaat jasa / non anggota (85 orang), bisa memanfaatkan jasa kelompok tetapi tidak mendapat SHU. Kelompok ini mendapat penghargaan pada saat tasyakuran 40 Tahun yayasan Binaswadaya, 26 Mei 2007 yang lalu.
KPK (Kelompok Petani Nelayan Kecil) Mekar Jaya, Desa Tambak Mekar, Jalancagak, Kabupaten Subang termasuk KPK yang berhasil. KPK yang berdiri tahun 1999 beranggota 10 Petani Nelayan kecil (PNK) ini ikut serta dalam kegiatan Gelar karya UMKM 2005 dalam rangka Pencanangan Tahun Keuangan Mikro Indonesia 2005, di SME’sCO Promotion Center, 24 – 27 Februari 2005. KPK ini telah memasuki layanan kredit P4K dari BRI tahap ke IV, dengan nilai Rp.1juta/orang. Saat ini KPK telah melunasi pembayaran angsuran pokok dan bunga bulan ke VI dari 12 bulan skedul pengembalian yang disepakati. Produksi utama KPK ini adalah Dodol Nanas. Dalam periode layanan kredit sejak tahap I, II dan III, KPK Mekar Jaya selalu tepat waktu dalam pengembalian pinjaman dan pembayaran bunga, sehinga selalu memperoleh insentif IPTW.
Keberhasilan serupa juga dilalui oleh KPK Anggrek, Desa Jati Mekar, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta yang telah memanfaatkan kredit P4K tahap keempat. KPK ini memproduksi Abon Ikan Nila dan makanan kecil dengan bahan baku utama ikan. Malahan KPK ini telah memiliki simpanan yangd dikelola oleh KPK untuk membantu anggota bilamana ada keperluan dana mendesak.
KPK berhimpun dalam Gabungan KPK untuk memperkuat kelembagaan dan kegiatan. Misalnya KPK di sekitar Kecamatan Jatiluhur berhimpun dalam Gabungan KPK Dahlia dengan anggota 6 KPK dengan kegiatan simpan pinjam untuk individual dan kegiatan pemasaran bersama. Sementara KPK Jitrek di Subang dengan prestasinya dipercaya untuk memperoleh dukungan perangkat peralatan produksi, mesin parut, mesin giling tepung dan juga Ruko dari JICA. Dana bantuan sebesar Rp 30 juta dikembalikan oleh KPK selama 5 tahun, tanpa dibebani bunga.
KPK , Gabungan KPK dari 6 Kabupaten di Propinsi Jawa Barat diatas bersama dengan beberapa KPK dari 5 Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah aktif sebagai peserta Gelar Karya UMKM yang berlangsung bersama dengan UMKM binaan berbagai Bank Pemerintah, Bank Swasta, BUMN dan Perusahaan Daerah dan swasta.
Badan Kswadayaan Masyarakat (BKM) Kelurahan Prawirodirjan, Yogyakarta mendapat kehormatan menjadi lokasi kunjungan para peserta Trainer of Trainers (TT) BRI tahun lalu. BKM ini satu dan tujuh BKM yang dikunjungi berada di wilayah KMW IX, termasuk P2KP I.Tahap 1. Yogyakarta. Diantara petikan pembelajaran dan manfaat ini yang diperoleh selama ini oleh KSM dan anggota, masyarakat sasaran P2KP patut disimak.
Kasim Ketua KSM 18 dengan 6 anggota yang pertama menerima pinjaman dana bergulir melalui UPK rebasar Rp 750.00/orang dan kemudian meingkat menjadi Rp 2.500.000/orang, Agustus 2004 yang lalu. Anggota KSM 18 ini terdiri dari pedagang baso, pedagang gorengan dan Kasim sendiri adalah penggali pasir. KSM ini ini selalu tepat waktu mengembalikan, karena kalau ada anggota yang telat membayar ke dia, akan disuruh setor langsung ke UPK. Umumnya anggota KSM 18 ini malu kalau membayarkan angsuran pokok, bunga secara langsung ke UPK. KSM ini pada akhir pelunasan pinjaman ke UPK, selalu dapat IPTW, hadiah Insentif Pengembalian Tepat Waktu. Dikemukakan pula oleh Kasim, dua tahun yang lalu, rumah saya dianggap rumah tidap sehat, sekarang rumah saya sudah beton dan lantai keramik. “Ga malu lagi, anak saya ada yang besar juga sudah selesai kuliah” tambah Kasim dengan penuh haru.
Sementara Ibu Siti, dari KSM 7, dengan 5 orang anggota mulai dengan pinjaman sebesar . Rp 500.000/orang dan kemudian jumlah pinjaman KSM meningkat empat kali lipat, yani RP. 2 juta/orang. Usaha gorengan yang dijalankan oleh Ibu Siti, tidak hanya dijual melalui gerobak dorong miliknya, tetapi telah dititipkan di beberapa kios. Ibu Siti dengan bangga menjelaskan bahwa dua anaknya “Sedang kuliah di STAN dan IAIN”.
Lebih jauh Sudaryanto, Ketua KSM X, dengan anggota 7 orang . Sudaryanto mulai memperoleh pinjaman Rp 750.000 dan terakhir dengan besar pinjaman Rp. 2.500.000. Usaha yang dijalankan adalah pembuatan shultte cock , usaha yang digeluti nya dapat disebut “jalan ya jalan disebut mati ya nggak mati”. Dengan dukungan pinjaman dari UPK , shuttle cock yang diproduksi lebih banyak, malahan terdapat persediaan yang memadai dan juga ekpansi dari jual di rumah, keliling dan sekarang beberapa toko telah mau menerima produknya.
Tidak jauh berbeda apa yang dialami oleh Ribowo, Ketua KSM 11, dengan anggota KSM sebanyak 6 orang. Ribowo yang juga Ketua RT 36, di wilayah ini, menjalankan usaha jasa bordir. Semula dia hanya sewa mesin bordir, dengan pinjaman sebesar Rp 2.500.000, telah dapat membeli mesin bordir dan dengan dukungan seorang pekerja tetap. Namun usaha ini belum maksimal, karena tidak dapat membuat bahan bordir. Tetapi usaha lebih lancar dan pinjaman yang diperoleh pun tidak nunggak. Ribowo, masih memerlukan Rp 7.500.000, agar usaha bordir ini lebih bertahan. Sama dengan KSM 17, KSM 11 ini juga selalu dapat hadiah IPTW karena selalu tepat waktu dalam pengembalian angsuran pokok dan bunga dana bergulir.
Muzaky dan Mustahik
Zakat sebagai rukun Islam telah mulai dijalankan sejak tahun kedua hijriah. Pelaksanaan pembayaran zakat sebagai kewajiban pribadi muslim yang memenuhi syarat lazimnya menjelang Idul Fitri. Kenapa? Pada hal tidak ada kewajiban untuk membayarkan pada waktu tersebut, pijakan waktu pembayaran adalah cukup tidaknya “nisabnya”. Bisa saja pada bulan lain. Namun pelaksanaan pembayaran zakat sebelum Idul Fitri mungkin saja didorong oleh manfaat pahala yang berganda yang dijanjikan Allah pada bulan Ramdhan.
Di pihak lain dalam penunaian kewajiban zakat ini baik untuk binatang ternak, emas dan perak, hasil pertanian dan perkebunan, harta perniagaan serta gaji; dapat dilihat dalam beberapa bentuk, diantaranya :
Pertama, Pembayar Zakat (muzakky) menyalurkan zakatnya kepada individu yang dianggapnya berhak menerima (mustahiq). Kedua , muzakky menyalurkan zakatnya kepada lembaga keagamaan yang menerima dan menyalurkan zakat ini, baik Panitia Zakat di Mesjid, Pondok Pesantren dan organisasi masyarakat lainnya. Ketiga, Muzakky menyalurkannya pada lembaga pengelola zakat professional , yang kita kenal dengan Bazis, Dompet Dhu’affa, PKPU dan lain lain.
Acuan Syari’ah dalam konteks kondisi Indonesia, dari delapan mustahik berhak untuk memperoleh dana zakat, hanya kelompok hamba sahaya dengan pengertian pada periode Rasulullah dan Sahabat, tidak ada. Para mustahik yang selalu mendapatkan zakat tersebt adalah, kelompok masyarakat yang fakir dan miskin, kelompok masyarakat yang terlilit hutang dengan kesanggupan membayar yang rendah, kelompok masyarakat yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat, di rumah sakit, panti, pendidikan, pemeliharaan lingkungan dll, kelompok masyarakat yang terlantar dalam perjalanan. Kelompok masyarakat yang baru masuk Islam (mu’alaff) serta panitia zakat itu sendiri.
Realitas yang ada menunjukkkan bahwa fakir, miskin , para da’i dan guru , pengelola rumah ibadah dan pendidikan termasuk pesantren umumnya selalu mendapatkan dana zakat. Kelompok mustahik lain, seperti mu’alaf, masyarakat terlantar dalam perjalanan, kurang mendapat kan perhatian. Dengan demikian mungkin saja terjadi untuk kelompok yang termasuk populer itu (fakir, miskin, yang berjuang fisabilillah) memperoleh dana zakat dari berbagai pihak. Pemberian dana zakat umumnya dalam skala kecil, berbentuk sembako, barang yang lebih bersifat konsumtif.
Zakat Untuk Pemberdayaan
Anggota msyarakat dengan contoh diatas termasuk kategori masyarakat miskin yang termasuk mustahik zakat. Pertanyaan muncul, kenapa setiap tahun pengumpulan zakat dan penyalurannya berlangsung dengan indikasi nilai nominal yang semakin besar, sementara di pihak lain, jumlah mustahik tidak semakin menurun ?
Kalau kita simak data-data kemiskinan di tanah air, ternyata jumlah penduduk miskin tidak lah semakin berkurang. Data BPS jumlah penduduk miskin tercatat 37,17 juta tahun 2007 ini, pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin masih 39,30 juta orang. Angka tersebut berbeda dari sudut pandang Bank Dunia yang menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin tidak berkurang, malahan bertambah dibanding tahun sebelumnya.
Dengan pengalaman pemberdayaan dengan ilustrasi contoh yang dikemukakan, dana zakat, sebetulnya dapat dioptimalkan dalam program pemberdayaan. Hal ini sebetulnya sama sekali bukanlah hal baru, beberapa lembaga pengelola zakat dan infak seperti Dompet Dhu’afa Republika, PKPU, Baziz DKI dan sejumlah lembaga lain, telah memulainya.
Replikasi dari pengalaman yang ada selanjutnya menjadi agenda kita selanjutnya Untuk itu beberapa pemikiran awal ini mungkin berguna, gerakan penyaluran zakat dengan pola konsumtif akan semakin mengarah pada pola produktif. Diantaranya adalah tujuh hal berikut:
Pertama, Proses penumbuhan kelompok beranggotakan keluarga miskin yang termasuk mustahik dengan tahapan yang berpijak pada perkembangan kebutuhan dan secara partisipatif.
Kedua, dampingan untuk membangun sikap baru bahwa belas kasihan tidak akan mampu mengubah nasib mereka kedepan menjadi titik perhatian sejak awal.
Ketiga, kebersamaan dan kejujuran sesama dalam kelompok adalah faktor pendukung keberhasilan .
Keempat, adanya sikap positif para ulama untuk memberikan peluang agar pola penyaluran zakat dengan pola produktif ini sah secara syariah. Karena sebuah ijtihad yang telah dimulai akan mendapatkan imbalan , meski kemungkinan nya belum tepat.
Kelima, membangun pemahaman bahwa dana zakat yang diterima merupakan amanah, walau sebetulnya adalah hak mereka. Dengan pengertian lain, bahwa dana amanah tersebut dapat dikelola dengan baik dan satu saat , mereka dapat menggulirkan kepada kelompok mustahik lain.
Keenam, pendampingan kelembagaan dan usaha produktif diikuti dengan fasilitasi pengadaan dan pemasaran oleh berbagai pihak. Pemerintah memberikan kemudahan, swasta menjadikan kelompok usaha mereka sebagai mitra sejajar.
Ketujuh, keseluruhan proses dan empirik penyaluran dana zakat ini direkam dengan teliti sebagai sebuah proses pembelajaran yang dapat di ”share” kepala pihak lain untuk di telaah dan dikaji kembangkan lebih jauh.
Adalah sebuah idaman, pada tahun pertama sejumlah contoh telah dimulai dan dikembangkan pada tahun kedua dengan pijakan kekurangan dan keberhasilan tahun sebelumnya, dan demikian seterusnya. Bukan tidak mungkin masyarakat yang semula miskin dan mustahik, pada tahun ketiga, telah menjadi muzakky. Subhanallah.