Jumat, 16 Januari 2015

GURUKU, UTOMO DANANJAYA


Master Training
Add caption
Senior saya di LP3ES H Utomo Dananjaya yang akrab  disebut  Mas Tom, dipanggil keharibaan Nya dini hari, Selasa 22 Juli jam 0.40,  bulan Ramadhan, bersamaan dengan hari pengumumun Pemilihan Umum Presiden di Bandung. Almarhum tinggal bersama anaknya di Bandung, Jl. Bukit Sariwangi 4 No. 39 Geger Kalong, Bandung. Dua hari kemudian istri tercintanya Mbak Mien menyusul di panggil Allah. Saya dengan  sahabat Abu Yamin mengujungi  mereka, sebelum bulan Ramadhan 1345 H yang lalu, di Bandung. Walau dalam kondisi sakit, almarhum ingat dengan kami, dan masih membicarakan apa yang dilakukan sekarang.

Mas Tom meninggalkan kerabat, teman dan sahabat serta mujahid pendidikan.  Kenangan kepada Mas Tom, bangkit kembali, saat berlangsung acara mengenang 40 hari dia dipanggil Illahi Rabby, menelaah kiprah, kepedulian dan persahabatannya dalam acara “Mengenang Utomo Dananjaya (1936-2014) dan Mien Muthmainah (1945-2014)” di Auditorium Nurcholis Madjid Universitas Paramadina, 27 Agustus 2014. Almarhum piawai dalam pelatihan partisipatif, pejuang pendidikan, mediator dan organisator. Saya salah satu muridnya memperoleh bekal ketrampilan metodologis dan kepercayaan diri semasa di LP3ES.

Saat berlangsung sillaturrahmi alumni LP3ES, 17 Agustus 2014 di rumah sahabat H. M. Nashihin serta acara 43 tahun LP3ES, di kantor sementara LP3ES, Pejaten, Jakarta Selatan, ingatan kembali tertuju pada Mas Tom.  Karena pertama perkenalan adalah saat mengikuti seleksi untuk Peserta Pelatihan Peneliti Muda LP3ES. Beliau dengan Bang Arselan Harahap dan Amir Karamoy menjadi tim seleksi.  Sempat nyantri di lembaga ini sejak tahun 1975 hingga 1989, diawali dengan peserta pelatihan Peneliti Muda, angkatan ke 7 dan terakhir. Banyak hal yang didapat, terutama kesadaran kritis terhadap pembangunan, kepedulian pada kelompok lapis bawah, membangun diri, persaudaraan dan kemampuan metodologis sebagai fasilitator latihan partisipatif.



Add caption
Mas Tom  dikenal dengan sebutan "Master of Training" di Lembaga Penelitian, Pendidikan, Studi Sosial dan Ekonomi. Ia melatih berbagai kelompok aktivis dari berbagai organisasi non-pemerintah. Terdorong untuk membentuk tokoh-tokoh muda penerus bangsa. Ia juga merupakan seorang pendidik yang blak-blakan dan seorang pemikir yang kritis. Cara berpikirnya sedikit banyak dipengaruhi oleh Ivan Illich dan Paolo Freire. 

Karya Tulis

Saya ingat betul buku pertama yang ditulis oleh Mas Tom bersama Mansyur Faqih dan kawan-kawan “Belajar dari Pengalaman”, sebuah buku yang menjadi pegangan para pemberdaya masyarakat dan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dua karya tulis terakhir yang diterbitkan oleh Para Madina, patut untuk disimak.

“Sekolah Gratis, Esai-esai Pendidikan Yang Membebaskan”.
Mas Tom dikalangan rekan – rekan adalah seorang pengamat dan praktisi pendidikan, hampir seluruh hidupnya ia abdikan untuk dunia pendidikan. Diantaranya ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) pada tahun 60-an, selanjutnya sebagai kepala humas Taman Ismail Marzuki (TIM), dan pada akhirnya menjabat sebagai Direktur The Institute for Education Rerform Universitas Paramadina. Mantan guru SMP Negeri Garut ini mencoba untuk memberontak melalui esai-esainya yang terkumpul dalam buku “Sekolah Gratis” nya ini atas seabreg dilematis pendidikan bangsa Indonesia. Ia pernah berpandangan bahwa belajar yang sesungguhnya adalah belajar dari pengalaman nyata, bukan sekedar duduk membaca dan mendengarkan guru dikelas“,  pendidikan itu citra bukan kata” ujar orang yang pernah memutuskan untuk berpisah dengan sekolah formal yang sebelumnya telah mengajar di SMP negeri 5 Bandung selama 8 tahun itu.

Dalam bukunya ini ia mendahului dengan data matematis mengenai pembebasan biaya sekolah yang ditujukan untuk presiden RI. Yang bersumber dari data lembaga seperti Balitbang dan Diknas berikut beberapa analisis dan rekomendasinya mengenai pembebasan sekolah ditinjau dari kalkulasi pembiayaan dan sistem pendekatannya. Menurutnya program pengalokasian APBN yang mencapai Rp. 24 Triliyun itu belum tepat sasaran, karena belum mengarah pada pemerataan pendidikan atau sekolah gratis namun lebih pada meningkatkan biaya birokrasinya.

Esai-esai yang terkumpul dalam buku ini sebenarnya juga merupakan kesaksianya sebagai praktisi dan pengamat dunia pendidikan. Nuansa kritik yang kental didalamnya terpengaruh selama aktif di LP3ES dan PII pada dasawarsa 70-an, dimana ia dan kawan kawannya mengembangkan suatu pandangan yang mengintroduksi pemikiran Paulo Freire dan Ivan Illich yang merupakan tokoh pendidikan radikal dari Amerika Latin. Walaupun toh tak sedikitpun dunia pendidikan yang mengadopsi ide “gila” kedua orang tersebut, namun  tetap saja kritik mereka tak bisa diabaikan begitu saja, berbagai perbaikan dalam dunia pendidikan dewasa ini merupakan suatu bukti perhatian atas ide mereka.

Walaupun demikian, lagi-lagi kita masih dilema atas keadaan pendidikan Indonesia yang tetap stagnan tanpa ada perubahan secara substansial, pengarang yang merupakan tokoh dibalik layar yang melembaga dakwah paramadina bersama Nurcholis Madjid ini menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis, sebagai makhluk dinamis senantiasa berada dalam proses “menjadi” (to-be) yang untuk itu memerlukan kebebasan karena hanya dengan kebebasan manusia bisa mengembangkan potensi yang dimiliki menuju lebih dewasa. Sehingga tujuan pendidikan kita adalah mengantarkan anak didik menjadi manusia dewasa, manusia yang mampu berpikir dan melakukan tindakan atas pilihannya sendiri.

Kenyataan yang bertolak belakanglah yang dijumpai ditanah air ini. Pendidikan Indonesia masih menjadi bagian dari tradisi zaman Hindia Belanda, dimana sekolah didirikan untuk memproduksi manusia menjadi tenaga kerja yang terampil baca tulis untuk kepentingan perusahaan dan lembaga pemerintah Belanda. Apabila kerajaan Belanda menyediakan anggaran pendidikan, mereka akan membuka sekolahan yang jumlan dan pesertanya sangat terbatas (pemikiran politik etis) dan jelas sekali kebijakan ini sangat diskriminatif, dan akibatnya muncullah persekolahan masyarakat seperti Muhammadiyah dan pesantren-pesantren sebagai reaksi terhadap diskriminasi tersebut, dan selanjutnya Belanda menertibkan dengan memberi subsidi dan “Wild Ordonantee School”, (ordonasi sekolah liar) yang ternyata juga dilanjutkan oleh pemerintah republik diawal kemerdekaan. Ketika kebijakan subsidi dihapuskan, kebijakan penertiban masih dilakukan hingga dicabutnya berbagai SK mendiknas untuk perguruan tinggi dan ebtanas untuk SD oleh Mendinas Malik Fadjar.

Ideologi pendidikan sebagaimana dipahami banyak orang, dimana pendidikan sebagai suatu kegiatan suci, dan juga profesi guru yang dianggap mulia dan terhormat, maka dunia pendidikan dikagetkan dengan kritik secara mendasar dari Paulo Freire dan Ivan Illich yang mengatakan bahwa pendidikan saat ini lebih identik dengan penindasan. Faktanya para murid didalam kelas hanya dijadikan objek pembelajaran bukannya subjek, para murid hanya dituntut untuk menghafal apa yang disampaikan guru, kemudian dituntut untuk mengungkapkan lagi hafalannya dengan berbagai UTS/UAN. Sehingga bisa dikatakan sekolah adalah pabrik untuk menghasilkan murid dengan nilai EBTANAS yang tinggi dan diterima dilapangan kerja, bukan sebagai aksi budaya maupun transformasi sahid yang membebaskan nuraninya menjadi manusia yang lebih beradab. Diarahkannya birokrasi pendidikan ke EBTANAS menyebabkan segala upaya pendidikan disekolah disimpangkan kebimbingan belajar agar memperoleh NEM yang tinggi, maka secara pahit Prof. Andi Hakim Nasution mengatakan bahwa sekolah dibubarkan saja dan digantikan dengan bimbingan belajar.

Dalam mengapresiasikan asumsinya ini, Mas Tom memang mengintroduksi pandangan filsafat tokoh pendidikan barat yang notabene non Muslim, seperti Paulo Freire yang merupakan kaum kristen Brazil yang tentu saja ia dipengaruhi oleh Teologi pembebasan. Fraire mengemukakan filsafatnya, analisis tentang realitas dunia, cara memahaminya, dan  model pendidikan yang ditawarkannya. Ia mengkritik pendidikan gaya bank sebagai metode pendidikan yang tidak dialektis atau searah. Ia menawarkan metode pendidikan dengan mengembangkan kesadaran kearah keterbukaan, dimana proses pendidikan terdiri dari guru yang murid dan murid yang guru serta realitas dunia, dalam pendidikan gaya bank, hanya guru dan murid, tanpa konteks dunia. Dengan menggunakan metode semacam ini, guru dan murid dibawa kepada dedikasi yang sesungguhnya, yaitu kemampuannya untuk mengerti secara kritis mengenai dirinya sendiri dan dunianya.

Walaupun begitu, asumsi seperti itu pada akhirnya selaras dengan pandangan Islam, yakni memahami hakikat dirinya dan bagaimana seharusnya ia menjalin hubungan dengan lingkungannya secara fitrah (kesucian asal) dan Hanif (cara hidup mengikuti kebenaran). Selain Paulo Freire, pengarang juga menggunakan beberapa pemikiran tokoh barat lain seperti Stephen R. Covey dengan kerjasama kreatifnya dalam hal pengajaran, Jhon Dewey dengan sejumlah kritik dan gagasannya tentang pendidikan nasional. Daniel Boleman dengan rangkuman kecerdasan emosionalnya, Gordon Dryden & Dr. Jeanetter Vos dengan bukunya “The Learning Revolution” dan beberapa tokoh lain. Yang jelas pengarang buku ini mengasumsikan bahwa sistem pendidikan dinegeri ini masih tertindih berat oleh peliknya birokrasi yang menghapuskan kreatifitas tidak hanya murid tapi guru juga, sehingga pendidikan hanya mampu jalan ditempat dengan menyisakan krisis humanisme.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh para praktisi pendidikan, guru dan para penentu kebijakan dibidang pendidikan khususnya, serta para generasi muda yang merupakan pewaris masa depan agar selanjutnya bisa membuahkan perubahan yang lebih berarti mengingat begitu pentingnya bidang pendidikan dalam kehidupan manusia, namun sedikit yang menjadi kelemahan buku ini adalah penggunaan bahasanya yang sebagian tinggi, sehingga memerlukan kejelian dalam memahaminya

Media Pembelajaran Aktif

Buku ini diterbitkan oleh Nuansa Cendekia, 2012,  minimal ada 3 hal dapat digaris bawahi, pertama, yakni kemajemukan individu, kebebasan/pembebasan dan kemandirian.

Hadirnya buku ini buat saya sangat penting buat para guru, mulai dari guru TK, SD, SMP hingga SMA dan juga sangat penting menjadi pegangan para aktivis pendidikan luar sekolah. Di atas problematika dunia pendidikan Indonesia yang sangat banyak problem ini, Pak Tom mengajak kita bertindak, melakukan gerakan strategis guna memberikan kontribusi bagi perubahan melalui pembaruan sikap, pemikiran dan tindakan para guru.

Melalui buku ini Pak Tom menunjukkan kepada kita tentang dua hal. Pertama, bagaimanapun juga keringat hidup bernama pengalaman itu sulit digantikan oleh sekedar kecerdasan intelektual ala kaum akademisi. Di manapun, karya yang baik selalu berbasis kombinasi antara riset tekstual (karena itu akan menjamin wawasan yang luas) dan pengalaman pribadi penulisnya.

Inilah yang membuat buku ini lebih hidup, lebih praktis tanpa kehilangan visi cerdas dan wawasan yang luas. Dan lebih penting dari itu adalah aspek nasionalismenya yang kuat karena memang ditulis oleh orang asli Indonesia. Kita bisa membandingkan buku how to yang sejenis dengan ini dengan buku terjemahan dari penulis luar negeri.

Kedua, kematangan hidup Pak Tom menjadikan karya ini bermutu, dalam artian memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi. Sebagai orang tua yang memiliki perhatian pada generasi bangsa, Pak Tom telah memberikan hati, bahkan mungkin sepenggal ruh kehidupan keprihatinannya untuk kita semua. Sangatlah merugi manakala para pengajar tidak memegang buku ini. Sebab dengan buku inilah saripati pengalaman panjang Pak Tom bisa kita serap secara efektif langsung praktik.

Dunia pendidikan dalam konstruksi pemikiran Pak Tom bukan sekedar mencerdaskan masyarakat, melainkan juga memiliki visi yang kuat sebagai basis pembangunan kebudayaan. Semangat pendidikan kebudayaan Pak Tom serupa gairah lagu Pakatuan Pakalawiren yang didendangkan Remy Silado yang energik itu; “….Katakan yang keras, ayo anak-anak/Bahwa kita sangat terbuka/Berilah yang baik kepada semua/Yang baik, yang juga manfaat/Ayolah semua kita bilang/Sepakat membangun budaya/Dasarnya adalah cinta-kasih/Itulah budaya abadi….”

Catatan Sahabat dan Keluarga

Di malam itu, orang-orang yang mencintai sang guru berkumpul. Untuk sekadar disebut, mereka adalah Jimly Asshiddiqie, Fachry Ali, Daniel Dakidae, Hajriyanto Y. Thohari, Jalaludin Rakhmat, Hamid Basyaib, Komarudin Hidayat, Yudi Latif, Anis Baswedan, Lukman Hakim Syaefudin, Edi Sasono, Abdul Hadi WM, Hadjriyanto Y. Thohari, Didik J. Rachbini, dan banyak lagi. Diantara catatan teman-teman tersebut patut dicatat:

Prof. Jimly Asshidiqie, mengatakan, “Kelebihan Mas Tom adalah kemampuannya menerjemahkan ide-ide besar dengan penerapan praktis. Ini sangat dibutuhkan kala itu, karena sebagai aktivis kita tidak mungkin hanya bicara tataran makro yang abstrak tanpa bertindak praktis”. Jimly juga memberikan apresiasi kepada temannya itu bahwa salah satu keunikan Utomo Dananjaya adalah tidak canggungnya bergaul dengan lintas golongan. “Mas Tom itu telaten melayani siapa saja. Beliau sangat kuat dalam urusan diskusi. Dan dia tidak mempersoalkan apakah pola pikir seseorang itu sama atau berbeda. Pernah suatu ketika, saya bersama beliau menemui kelompok Islam radikal. Seharian penuh dilayani diskusi dan setelah itu saya tanya ke Mas Tom, bagaimana, apakah dari hasil debat itu dia menerima pikiran kita? Mas Tom Menjawab, tetap tidak. Tapi biar saja, yang penting dia juga ngerti jalan pikiran kita”, kenang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.

Prof.Didik Rachbini, melihat Mas Tom,  sebagai seorang pejuang pendidikan yang penuh inisiatif. Tidak pernah patah semangat bagi dunia pendidikan yang berpusat pada peserta didik dan gagasan untuk peningkatan kualitas para pendidik. Konsep pendidikan “andragogy” menjadi  falsafah dalam penerapan  nyata.

Adi Sasono, Utomo itu adalah aktifis sejati. Selalu konsisten dan memegang komitmennya walau dihadapkan pada rintangan yang sangat rumit. Frans Magis  Suseso, Utomo itu adalah orang yang selalu ramah dan hangat. Dia bergaul dengan semua orang, meski berbeda etnik, keyakinan, garis politik dan pemikiran nya, friendly.

Lukman Hakiem Syaifudin, Kementrian Agama,  dengan runut dan apik, memaparkan kembali, ingatannya semasa ia menjadi aktivis. “Mas Tom adalah guru kami yang mengajarkan kita berpikir secara baik dan tepat. Menjadikan kita memahami pentignya seorang manusia harus menjadi manusia. Karena itu, beliau selalu mengarahkan gerakan pendidikannya ke arah proses memanusiakan manusia. Bahwa, “Mas Tom memberi banyak kontribusi pemikiran bagi bangsa ini pada aspek hubungan Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Beliau sangat pluralis, terbuka dan mampu memberikan nafas perbedaan untuk hidup sejalan dalam kehidupan berbangsa.”

Daniel Dakhidae, Pimpinan Redaksi Prisma dan wartawan senior Kompas, menyampaikan kenangan masa lalunya, “Saya itu sangat akrab dengan beliau. Sekalipun umur kami berjarak 9 tahun, lebih tua beliau, tapi saya anggap sebagai teman dekat tanpa jarak. Itulah kenapa beliau memanggil saya dengan sebutan nama, dan saya pun memanggilnya sedikit berbeda dengan teman-teman, bukan Mas Tom, tapi Tom,” tuturnya. Daniel menganggap Tom adalah manusia unik di Indonesia karena militansinya dalam mengurusi dunia pendidikan dan dunia pergerakan di LSM.

Kami bersahabat baik, meskipun ketika saya masuk LP3ES menimbulkan kontroversi di sana karena saya dianggap “susupan” katolik, dan jangan-jangan “agen” CSIS. Ada sekurang-kurangnya dua orang yang tidak peduli dengan pendapat seperti itu yaitu Ismid Hadad, dan Utomo. Bersahabat baik meskipun beda umur kami cukup jauh, dan Utomo senior di kantor. Karena itu kami selalu panggil satu sama lain dengan “Daniel”, dan saya memanggilnya “Tom”, tanpa tambahan seperti “Mas”, “Pak”, “Bung”,  dan lain-lain. Saya suka panggil “Tom” itu karena itulah kata-kata pertama yang diucapkan Aunt Polly yang cerewet dan Tom yang nakal dalam novel Adventures of Tom Sawyer, dan Adventures of Huckleberryfinn karya Mark Twain: “Tom ...Tom...What’s gone with that boy? You ... Tom”.Dalam hal pertikaian pendapat dalam office politics inilah yang dikatakan terakhir kalinya kepada saya, 6 Januari 2014, dalam suatu rapat yang dihadirinya di Jakarta, “Jangan pernah pikir tentang apakah orang suka atau tidak suka dengan apa yang kita buat. Harus diasumsikan bahwa orang tidak suka. Selebihnya adalah bagaimana kita meyakinkan orang dengan apa yang kita kerjakan”.

Prof. Komaruddin Hidayat, mengemukakan bahwa Mas Tom seorang yang luar biasa. Dia dapat bertemu dengan siapa saja, dimana orang mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dan bertatap muka. Tidak hanya itu, dia piawai sebagai fasilitator mempertemukan berbagai pihak. Dia saya sebut dengan, “Connecting People”.

DR. Anis Baswedan,  almamhum sebagai orang yang luar biasa, mendirikan tiga perguruan tinggi yakni Akademi Wiraswasta/Sekolah Tinggi Wiraswasta, Universitas Islam Assyafiiyah dan Universitas Paramadina. Saat badan lemah, tetapi pemikiran kreatif dan jernih serta inspiratif masih berjalan, tergambar dengan sejumlah tulisan-tulisannya. Dia penggagas sebuah, “Lembaga Da’wah yang Intelek”.

DR. Yudi Latif, melihat Mas Tom sebagai orang yang selalu ceria dan kreatif dalam menghidupkan kebuntuan. Orang yang, “Serius yang jenaka”. Abdul Hadi WM, memberikan  catatan khusus terhadap berbagai kiprahnya dalam sebuah kerangka perjuangan, “Teologi Persatuan dan  Teologi orang Miskin”

DR. Poppy Ismalina, anak bungsu Utomo Dananjaya dan Mien Muthmainan, mengisahkan orangtuanya penuh haru serta mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan murid kedua orang tuanya. Ia sangat terharu, karena orangtuanya dicintai oleh teman-teman serta muridnya dalam dunia pergerakan. “Kami mendapat pengajaran penting dari Apa dan Oma bahwa hidup dengan saling mencintai itu akan menjadikan perbedaan adalah sesuatu yang biasa. Ayah dan Ibu saya mencintai anda semua dan dengan itulah sekarang kami mendapatkan kehangatan setelah mereka berdua tidak ada di dalam keluarga kami. Terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak,” ujar Ekonom UGM tersebut.

Selamat Jalan Mas Tom. Selamat Jalan Bu Mien.
Selamat jalan guruku, berbagai ilmu, pengalaman dan ketrampilan yang telah dibagi, akan menjadi pahala tiada henti tanpa batas.
Adios amigo, farewell my friend (H. Muchtar Bahar)

Sumber:

  • ”Utomo Dananjaya, Guru Yang Tak Mudah Ditaklukkan”,  Surat Kabar Kompas edisi jum’at 3 juni 2005
  • 40 Hari, Utomo Dananjaya, faiz Manshur, Kompasiana, 2014
  •  Dialog dengan Teman-teman Alumni LP3ES, 17 Agustus 2014
  • Catatan Dhaniel Dhavidae, Nur Jaman dan sahabat lain.

Tidak ada komentar: