Senin, 24 Desember 2007

SEMENIT SAJA


Arief Rahadi yang aktif di P2KP, memperoleh tulisan ini dari milist tetangga.. Saya coba simak makna nya, ternyata amat penting untuk bahan renungan. Bilamana sejawat merasa tulisan ini bermanfaat, silahkan kirim kepada sejawat lain.

Betapa besarnya nilai uang kertas senilai Rp.100.000 apabila dibawa ke masjid untuk disumbangkan; tetapi betapa kecilnya kalau dibawa ke Mall untuk dibelanjakan.

Betapa lamanya melayani Allah SWT selama lima belas menit namun betapa singkatnya kalau kita melihat film.

betapa sulitnya untuk mencari kata-kata ketika berdoa (spontan) namun betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan pacar / teman tanpa harus berpikir panjang-panjang.

Betapa asyiknya apabila pertandingan bola diperpanjang waktunya ekstra namun kita mengeluh ketika khotbah di masjid lebih lama sedikit daripada biasa.

Betapa sulitnya untuk membaca satu lembar Kitab Suci tapi betapa mudahnya membaca 100 halaman dari novel yang laris.

Betapa getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser namun lebih senang berada di shaf paling belakang ketika berada di Rumah Ibadah

Betapa mudahnya membuat 40 tahun dosa demi memuaskan nafsu birahi semata, namun alangkah sulitnya ketika menahan nafsu selama beberapa hari ketika berpuasa.

Betapa sulitnya untuk menyediakan waktu untuk berdoa; namun betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada saat terakhir untuk event yang menyenangkan.

Betapa sulitnya untuk mempelajari arti yang terkandung di dalam Kitab Suci; namun betapa mudahnya untuk mengulang-ulangi gosip yang sama kepada orang lain.

Betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran namun betapa kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci.

Betapa Takutnya kita apabila dipanggil Boss dan cepat-cepat menghadapnya namun betapa kita berani dan lamanya untuk menghadapNya saat waktu beribadah.

Betapa setiap orang ingin masuk sorga seandainya tidak perlu untuk percaya atau berpikir,atau mengatakan apa-apa,atau berbuat apa-apa.

Betapa kita dapat menyebarkan seribu lelucon melalui e-mail, dan menyebarluaskannya dengan FORWARD seperti api; namun kalau ada mail yang isinya tentang Keagungan Allah betapa seringnya kita ragu-ragu, enggan membukanya dan mensharingkannya, serta langsung klik pada icon DELETE.

ANDA TERTAWA ...? atau ANDA BERPIKIR-PIKIR. ..? Sebar luaskanlah Sabda-Nya, bersyukurlah kepada ALLAH, YANG MAHA MENGETAHUI, MENDENGAR, PENGASIH DAN PENYAYANG.

Apakah tidak lucu apabila anda tidak memFORWARD pesan ini. Betapa banyak orang tidak akan menerima pesan ini, karena anda tidak yakin bahwa mereka masih percaya akan sesuatu? Wassalam

MARI BERSYUKUR

Mari Bersyukur : Untuk Istri Yang memberi makanan yang sama dengan malam kemarin , Karena Istriku DIRUMAH malam ini , dan TIDAK bersama orang lain

BERSYUKUR UNTUK SUAMI . Yang duduk bermalasan di Sofa Sambil baca koran Males-malesan Karena doi bersama aku dirumah dan Tidak keluyuran .. apalagi ke Bar malem ini .

Bersyukur untuk anak Yang selalu PROTES dirumah Karena artinya ... dia sedang dirumah dan tidak sedang keluyuran di jalan.

BERSYUKUR untuk Pajak yang saya bayar karena artinya ? Saya bekerja ? atau Punya penghasilan ?

BERSYUKUR untuk rumah yang berantakan.. .Karena artinya saya masih punya kesempatan melayani orang-orang yang mengasihi saya ?

BERSYUKUR untuk baju yang mulai kesempitan karena artinya ... Saya bisa lebih dari cukup untuk makan ?

BERSYUKUR pada Bayangan yang mengikutku Karena artinya ? Aku tidak disilaukan oleh Matahari ?

BERSYUKUR untuk Kebun yang harus dirapikan dan perkara yang harus dibetulkan dirumah . !! Karena artinya ? saya punya Rumah !!!

BERSYUKUR akan berita orang yang lagi DEMO .. karena artinya Kiat masih PUNYA kebebasan untuk berbicara

BERSYUKUR untuk dapat tempat parkir yang paling jauh ? Karena artinya saya masih bisa berjalan kaki .. dan diberkati dengan kendaraan yang saya bisa bawa ?

BERSYUKUR untuk Cucian ? Karena artinya ? saya punya baju yang bisa dipakai ?

BERSYUKUR karena kepenatan dan kelelahan kerja setiap hari ... karena artinya ? SAYA mampu bekerja keras setiap hari ?

BERSYUKUR untuk segala permasalahan hidup , karena artinya? Kita masih dipercaya untuk bisa berkembang dan terus berkembang

BERSYUKUR mendengar Alarm yang mengganggu di pagi hari, artinya ” SAYA MASIH HIDUP”

PERLAWANAN BARU DIMULAI Pengalaman Rakyat Melawan Penindasan


Negara adalah kita, Pengalaman Rakyat Melawan Penindasan, diterbitkan oleh Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat, bersama dengan Perkumpulan Praxis dan Yappika, Jakarta, tahun 2006. Buku setebal 508 halaman tidak termasuk daftar isi dan pengantar ini diberikan pengantar oleh Sylvia Tiwon dengan tim Editor, Eko Bambang Subiyantoro, Wilson, Andi K Yuwono dan Ayi dan Bunyamin


Buku ini terbagi dalam tujuh bagian dengan proporsi tiap bagian yang tidak seimbang. Bagian Pertama merupakan analisis menyeluruh dari Silvia Tiwon terhadap kumpulan tulisan yang berasal dari hampir 17 Simpul Belajar Bersama Prakarsa Masyarakat di Aceh, Jambi, Bengkulu, Jabodetabek, Salatiga, Semarang, Jombang, Lumajang, Bali, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Selatan, Suawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, NTB, NTT dan Papua.

Kontribusi kajian nyata dari berbagai simpul itulah yang dikemas dalam enam bagian berikutnya. Bagian kedua perlawanan merebut Hak hak ekosob dengan 7 tulisan, Empat tulisan diantaranya mengkritisi perhatian pemerintah yang kontrofersial dengan bantuan Subsidi BBM dan BLT, Bagian ke tiga Perlawanan Merebut Hak Sumber Daya Alam, dengan 17 tulisan mencoba mengungkap kasus perlawanan rakyat mulai dari penggusuran, perampokan hak rakyat oleh swasta baik untuk perkebunan, prasarana ataupun karena alasan pelestarian lingkungan.

Pada bagian keempat, kontribusi dari Simpul Sulawesi Tengah dan salah seorang aktifis Simpul ini yang tinggal di Jakarta, dengan dua tulisan yang menyangkut bagaimana rakyat mencari berbagai alternatif untuk menghadapi konflik di Poso. Sementara pada Bagian Keenam, Perlawanan Rakyat dan Politik Lokal merupakan bagian kedua dengan 10 tulisan tentang Pilkada, perjuangan rakyat dengan ikatan tradisional dan etnik, seperti di Papua, Kalimantan Barat dan Bali. Buruh Dalam Skema Penjajahan Baru serta Reformasi Kebijakan Pertanahan, masing masing satu tulisan, menjadi pokok sajian pada Bagian Keenam dan Ketujuh.

Berbagai gerakan perlawanan rakyat yang dikemukakan dalam buku ini patut menjadi fokus perjuangan bersama rakyat kedepan. Kerana perjuangan yang diinisiasi atas kesadaran kolektif, bukan lah sebagai gerakan yang yang mengancam keutuhan negara dan bangsa. Juga bukan sebuah rangkaian peristiwa yang muncul dari rakyat sebagai korban pasif, tetapi harus dilihat sebagai gerakan kesadaran kolektif yang mengarah sebagai ”protagonis”, pemeran utama dalam kehidupan bernegara (hal.6).

Kebijakan dan program bantuan Subsisi BBM dan distribusi BLT merupakan manipulasi ”pengentasan kemiskinan” (hal 37) , pemerintah menipu rakyat dengan membagikan BLT (hal 73), Dengan realitas itu, ” kita tidak akan melakukan apa-apa dan tidak akan bertambah maju kalau mengharapkan perintah berubah” Pak Sandra, Tenganan, Bali, (hal 63) , menggali dan mengembangkan ruh baru dari desa (hal 93) sebagai pijakan dan semangat perjuangan menuntut hak rakyat.

Menarik untuk menyimak bagaimana rakyat berjuang meminta dan mempertahankan haknya baik karena kebijakan negara ataupun kerena kepentingan usaha. Serikat Petani Bengkulu (STAB) di Desa Ladang Palembang dan Desa Alas Abangun, Bengkulu (hal 140), berhadapan dengan perusahaan perkebunan yang telah menelantarkan lahannya, masyarakat suku tertua Monorene di Sulawesi Tenggara, yang diusir di tanah leluhurnya versus Pengelola kawasan taman nasional Rawa Aopa Watumohai (hal 153), bagaimana masyarakat di desa Honitetu, Pulau seram berhadapan dengan kepentingan perusahaan kayu jayani Group (hal 175), penolakan masyarakat adat Dayak Mukok, Kalimantan Barat terhadap perkebunan sawit PT.Citra Nusa Inti Sawit yang telah mencatut mereka sebagai penerima kredit dengan ”konsep perkebunan plasma inti” (hal 200) nasib tragis masyarakat desa Mentiar kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang melalui gerakan Pun Dayak di Kalimantan Barat dengan ekploitasi hutan yang dilakukan oleh PT. Borneo Karya Mandiri (hal 399), kerasnya perlawanan masyarakat pulau Nusa Ceningan, Bali berhadapan dengan kapitalisme parawisata dengan Mega Proyek Green Islandnya (hal 209), perjuangan rakyat Tara Gahar Tajo Mosan ” Kabupaten Sikka, NTT untuk mengelola hutan adat (hal 242), membangun Payuyuban Petani Al Barokah di Desa Krenceng, Kediri, Jawa Timur untuk merebut keadilan berhadapan dengan PT. Perum Perhutani II, Jawa Timur (hal 269), bersatunya rakyat ntuk menuntut hak atas Hutan lindung di Kecamatan Kepung dan Puncu Kabupaten Kediri, Jawa Timur (hal 283),

Dalam konteks bagaimana perlawanan rakyat dan politik lokal dengan sepuluh tulisan pada bagian kelima, menarik untuk melihat model perjuangan Majelis Rakyat Papua, yang tidak kunjung selesai dengan berbagai kepentingan politik pemerintah pusat. Adanya kecenderungan menjadikan Papua, arena judi politik (hal 443). Berbagai Pilkada yang telah dan sedang berlangsung di tanah air baik pada tingkat Kabupaten, Kota dan propinsi masih saja sarat dengan permainan politik. Rakyat masih saja menjadi kelinci percobaan dan menjadi bulan bulanan partai.

Dikaitkan dengan perjuangan rakyat tersebut, hasil jajak pendapat harian Kompas, 2 Januari 2007 semakin membuktikan betapa hak rakyat masih tertindas. Lihat saja bagaimana ungkapan 52,4 % responden (784 responden dari berbagai kota di Indonesia) menyatakan bahwa pemerintah kurang serius dalam menjaga hak hidup dan mempertahan hidup masyarakat. Sebanyak 43,6 % responden mengaku hak untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan hidup pun kurang mendapatkan perhatian oleh pemerintah. Ketidakpuasan masyarakat juga atas proses pengadilan, dimana sebanyak 55,0 % merasa tidak diberikan kesempatan untuk membuktikan kebenaran di pengadilan serta 54,5 % menyampaikan ketidakpuasannya dalam mendapatkan hak yangt sama di pengadilan.

Kedepan, kita lihat UUD 45 pasal 1, ayat (2) dan ayat (3) ”kedaulatan berada di tangan rakyat, dan negara Indonesia adalah negara hukum, dan bukan atas kekuasaan belaka”. Dalam praktik, berbagai kasus perjuangan rakyat melawan negara dan pemilik modal, selalu dikalahkan. Karena pelaksana pemerintahan, berlindung pada aturan yang tidak memihak rakyat. Sebuah rumusan aturan pemerintahan yang memihak rakyat , mungkin akan mendongkrak efektifitas perjuangan rakyat dimasa datang. Sebuah Undang Undang Administrasi Pemerintahan yang akan menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang tertib dan baik, kepastian hukum, mencegah penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas, memberikan perlindungan kepada masyarakat, dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat.

Buku ini penting, namun ada beberapa hal yang menganggu. Pertama, pembagian antara bagian yang kurang proporsional. Kedua, beberapa tulisan di bagian kelima misalnya bisa dilihat ulang dikelompokkan pada bagian sebelumnya, seperti Pepera Kedua dan Pan Dayak. Ketiga, beberapa topik bisa dikemas dalam satu bagian, dengan fokus Rakyat dan Perlawanan terhadap Saudagar. Kelima, beberapa hal teknis tentang kontrol kualitas penerbitan dapat dihindari, diantaranya halaman yang tidak ada hal.204, 307 dan 468.

Jumat, 21 Desember 2007

ZAKAT UNTUK PEMBERDAYAAN

Contoh-Contoh


Proses pemberdayaan masyar
akat yang menuju pada masyarakat yang tidak tergantung pada pihak luar tidaklah dilakukan dengan intants. Proses ini berlangsung bertahap sesuai dengan respons dan kesiapan masyarakat sebagai subjek. Tiga contoh berikut dipetik dari pengalaman 40 tahun Yayasan Binaswadaya, Program Pembinaan Petani nelayan Kecil (P4K) Departemen Pertanian dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).


Kelompok tani “MAJU”. Berawal di tahun 1973 ketika 11 orang petani
ingin memiliki Petromak. Mereka memilih iuran untuk memiliki barang yang harganya cukup mahal kala itu. Iuran terus dilakukan hingga semua orang memiliki petromak. Belajar dari keberhasilan tersebut, mereka terus iuran untuk membeli berbagai kebutuhan lainnya seperti kursi, meja dan lemari.


Lima tahun kemudian muncul program pemerintah Inmas dan Bimas. Program tersebut
mewajibkan terbentuknya organisasi bagi mereka yang ingin berkumpul dan berserikat. Akhirnya, kesebelasan tersebut membentuk Kelompok Tani (KT) “MAJU” yang anggota bertambah menjadi 18 orang dan berlokasi di Nanggulan, kulon Progo, DI. Yogyakarta. Kelompok ini mulai mengembangkan unit usaha untuk memenuhi berbagai kebutuhan petani. Kumpulan yang dilakukan setiap selapan (35 hari) dilakukan untuk menemukan solusi terhadap berbagai masalah pertanian.


Kegiatan tersebut menjadi semakin variatif sekitar tahun 1980’an. Kebutuhan petani terhadap benih padi yang berkualitas dan murah menjadi kegundahan petani di nanggulan dan sekitarnya. KT “MAJU” melihat kebutuhan tersebut sebagai peluang pasar yang harus ditangkap. Di pihak lain, gabah kering yang digunakan untuk konsumsi harga jualnya lebih rendah ketimbang gabah yang akan dijadikan benih padi. Melihat berbagai peluang dan manfaat tersebut, KT “MAJU” memberanikan diri untuk mengembangkan usaha pembenihan padi.

Setelah melakukan penangkaran bibit selama 6 musim tanam akhirnya mereka dapat menghasilkan benih berkualitas. Pada tahun 1984 KT “MAJU” mendapatkan sertifikat penangkar. Bermodal sertifikat hasil, mereka bekerja sama dengan produsen benih dari Yogyakarta untuk menghasilkan benih dalam jumlah yang lebih banyak. Berdasarkan kerjasama tersebut mereka berhasil memproduksi benih sejumlah 15-20 Ton kering. Usaha ini terhenti tahun 1997 karena berbagai persoalan dan krisis.


Tahu 2004, enam tahun kemudian secercah harapan baru mulai tumbuh. KT ”MAJU” kembali mengikuti pelatihan penangkaran benih padi (label ungu). Anggota KT ”MAJU” akhirnya mendapatkan kepercayaan diri kembali untuk memulai usaha pembenihan padi setelah pelatihan tersebut.


Bermodal pinjaman Rp.6.000.000,00 dari Departemen Pertanian untuk usaha benih. KT “MAJU” merintis kembali usaha yang telah lana ditinggalkan. Bantuan modal tersebut membantu mereka untuk memproduksi sejumlah 7 ton benih padi kering pda tahun 2005. Kurang dari setahun kemudian setelah mendapatkan bantuan berupa Gudang Benih alat pengeringan, produksi benih menigkat menjadi 8,5 ton. Bahkan benih produksinya telah mendapatkan sertifikasi dari Departemen Pertanian.


Benih padi yang diproduksi memanfaatkan tanah kas desa yang disewa dikelola bersama oleh anggota.
Tidak ada upah bagi pekerja yang ikut mengelola tanah kas desa. Pendapatan mereka dihitung dari SHU yang dibagikan setiap tahunnya. Keuntungan lainnya yang diterima anggota antara lain dalam penjualan hasil pertanian mereka. Anggota menjual sebagian hasil pertanian mereka ke kelompok dan sisanya dikonsumsi sendiri. Harga yang diberikan kelompok cukup bersaing.


Tak hanya berkutat pada produksi benih, KT ”MAJU” juga mengembangkan usaha penanganan pasca produksi. Iuran yang terus menerus dilakukan membuat mereka mampu memiliki alat pengolahan pertanian seperti traktor, Huller (alat mengolah gabah menjadi beras) dan pengering padi . Penyediaan jasa tersebut digunakan oleh anggota. Apabila kebutuhan anggota sudah terpenuhi barulah berbagai alat ersebut disewakan kepada petani yang non anggota maupun petani dari desa lainnya.

Selain penyewaan alat pertanian dan produksi benih, KT ”MAJU” juga menyediakan jasa simpan pinjam. Tak hanya meminjamkan modal dalam bentuk uang tetapi juga meminjamkan benih. Bahkan petani yang bukan anggota pun bisa meminjam lebih dan baru dibayar setelah selesai panen.

Hingga saat ini KT ”MAJU” beranggotakan Anggota aktif (33 orang). Anggota setengah aktif (50 orang) yaitu anggota tidak mempunyai simpanan pokok, wajib dan sukarela tetapi setiap ada kegiatan usaha berkaitan tani selalu ikut. Dan pemanfaat jasa / non anggota (85 orang), bisa memanfaatkan jasa kelompok tetapi tidak mendapat SHU. Kelompok ini mendapat penghargaan pada saat tasyakuran 40 Tahun yayasan Binaswadaya, 26 Mei 2007 yang lalu.


KPK (Kelompok Petani Nelayan Kecil) Mekar Jaya, Desa Tambak Mekar, Jalancagak, Kabupaten Subang termasuk KPK yang berhasil. KPK yang berdiri tahun 1999 beranggota 10 Petani Nelayan kecil (PNK) ini ikut serta dalam kegiatan Gelar karya UMKM 2005 dalam rangka Pencanangan Tahun Keuangan Mikro Indonesia 2005, di SME’sCO Promotion Center, 24 – 27 Februari 2005. KPK ini telah memasuki layanan kredit P4K dari BRI tahap ke IV, dengan nilai Rp.1juta/orang. Saat ini KPK telah melunasi pembayaran angsuran pokok dan bunga bulan ke VI dari 12 bulan skedul pengembalian yang disepakati. Produksi utama KPK ini adalah Dodol Nanas. Dalam periode layanan kredit sejak tahap I, II dan III, KPK Mekar Jaya selalu tepat waktu dalam pengembalian pinjaman dan pembayaran bunga, sehinga selalu memperoleh insentif IPTW.

Keberhasilan serupa juga dilalui oleh KPK Anggrek, Desa Jati Mekar, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta yang telah memanfaatkan kredit P4K tahap keempat. KPK ini memproduksi Abon Ikan Nila dan makanan kecil dengan bahan baku utama ikan. Malahan KPK ini telah memiliki simpanan yangd dikelola oleh KPK untuk membantu anggota bilamana ada keperluan dana mendesak.


KPK berhimpun dalam Gabungan KPK untuk memperkuat kelembagaan dan kegiatan. Misalnya KPK di sekitar Kecamatan Jatiluhur berhimpun dalam Gabungan KPK Dahlia dengan anggota 6 KPK dengan kegiatan simpan pinjam untuk individual dan kegiatan pemasaran bersama. Sementara KPK Jitrek di Subang dengan prestasinya dipercaya untuk memperoleh dukungan perangkat peralatan produksi, mesin parut, mesin giling tepung dan juga Ruko dari JICA. Dana bantuan sebesar Rp 30 juta dikembalikan oleh KPK selama 5 tahun, tanpa dibebani bunga.

KPK , Gabungan KPK dari 6 Kabupaten di Propinsi Jawa Barat diatas bersama dengan beberapa KPK dari 5 Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah aktif sebagai peserta Gelar Karya UMKM yang berlangsung bersama dengan UMKM binaan berbagai Bank Pemerintah, Bank Swasta, BUMN dan Perusahaan Daerah dan swasta.


Badan Kswadayaan Masyarakat (BKM) Kelurahan Prawirodirjan, Yogyakarta mendapat kehormatan menjadi lokasi kunjungan para peserta Trainer of Trainers (TT) BRI tahun lalu. BKM ini satu dan tujuh BKM yang dikunjungi berada di wilayah KMW IX, termasuk P2KP I.Tahap 1. Yogyakarta. Diantara petikan pembelajaran dan manfaat ini yang diperoleh selama ini oleh KSM dan anggota, masyarakat sasaran P2KP patut disimak.

Kasim Ketua KSM 18 dengan 6 anggota yang pertama menerima pinjaman dana bergulir melalui UPK rebasar Rp 750.00/orang dan kemudian meingkat menjadi Rp 2.500.000/orang, Agustus 2004 yang lalu. Anggota KSM 18 ini terdiri dari pedagang baso, pedagang gorengan dan Kasim sendiri adalah penggali pasir. KSM ini ini selalu tepat waktu mengembalikan, karena kalau ada anggota yang telat membayar ke dia, akan disuruh setor langsung ke UPK. Umumnya anggota KSM 18 ini malu kalau membayarkan angsuran pokok, bunga secara langsung ke UPK. KSM ini pada akhir pelunasan pinjaman ke UPK, selalu dapat IPTW, hadiah Insentif Pengembalian Tepat Waktu. Dikemukakan pula oleh Kasim, dua tahun yang lalu, rumah saya dianggap rumah tidap sehat, sekarang rumah saya sudah beton dan lantai keramik. “Ga malu lagi, anak saya ada yang besar juga sudah selesai kuliah” tambah Kasim dengan penuh haru.

Sementara Ibu Siti, dari KSM 7, dengan 5 orang anggota mulai dengan pinjaman sebesar . Rp 500.000/orang dan kemudian jumlah pinjaman KSM meningkat empat kali lipat, yani RP. 2 juta/orang. Usaha gorengan yang dijalankan oleh Ibu Siti, tidak hanya dijual melalui gerobak dorong miliknya, tetapi telah dititipkan di beberapa kios. Ibu Siti dengan bangga menjelaskan bahwa dua anaknya “Sedang kuliah di STAN dan IAIN”.

Lebih jauh Sudaryanto, Ketua KSM X, dengan anggota 7 orang . Sudaryanto mulai memperoleh pinjaman Rp 750.000 dan terakhir dengan besar pinjaman Rp. 2.500.000. Usaha yang dijalankan adalah pembuatan shultte cock , usaha yang digeluti nya dapat disebut “jalan ya jalan disebut mati ya nggak mati”. Dengan dukungan pinjaman dari UPK , shuttle cock yang diproduksi lebih banyak, malahan terdapat persediaan yang memadai dan juga ekpansi dari jual di rumah, keliling dan sekarang beberapa toko telah mau menerima produknya.

Tidak jauh berbeda apa yang dialami oleh Ribowo, Ketua KSM 11, dengan anggota KSM sebanyak 6 orang. Ribowo yang juga Ketua RT 36, di wilayah ini, menjalankan usaha jasa bordir. Semula dia hanya sewa mesin bordir, dengan pinjaman sebesar Rp 2.500.000, telah dapat membeli mesin bordir dan dengan dukungan seorang pekerja tetap. Namun usaha ini belum maksimal, karena tidak dapat membuat bahan bordir. Tetapi usaha lebih lancar dan pinjaman yang diperoleh pun tidak nunggak. Ribowo, masih memerlukan Rp 7.500.000, agar usaha bordir ini lebih bertahan. Sama dengan KSM 17, KSM 11 ini juga selalu dapat hadiah IPTW karena selalu tepat waktu dalam pengembalian angsuran pokok dan bunga dana bergulir.



Muzaky dan Mustahik

Zakat sebagai rukun Islam telah mulai dijalankan sejak tahun kedua hijriah. Pelaksanaan pembayaran zakat sebagai kewajiban pribadi muslim yang memenuhi syarat lazimnya menjelang Idul Fitri. Kenapa? Pada hal tidak ada kewajiban untuk membayarkan pada waktu tersebut, pijakan waktu pembayaran adalah cukup tidaknya “nisabnya”. Bisa saja pada bulan lain. Namun pelaksanaan pembayaran zakat sebelum Idul Fitri mungkin saja didorong oleh manfaat pahala yang berganda yang dijanjikan Allah pada bulan Ramdhan.

Di pihak lain dalam penunaian kewajiban zakat ini baik untuk binatang ternak, emas dan perak, hasil pertanian dan perkebunan, harta perniagaan serta gaji; dapat dilihat dalam beberapa bentuk, diantaranya :

Pertama, Pembayar Zakat (muzakky) menyalurkan zakatnya kepada individu yang dianggapnya berhak menerima (mustahiq). Kedua , muzakky menyalurkan zakatnya kepada lembaga keagamaan yang menerima dan menyalurkan zakat ini, baik Panitia Zakat di Mesjid, Pondok Pesantren dan organisasi masyarakat lainnya. Ketiga, Muzakky menyalurkannya pada lembaga pengelola zakat professional , yang kita kenal dengan Bazis, Dompet Dhu’affa, PKPU dan lain lain.

Acuan Syari’ah dalam konteks kondisi Indonesia, dari delapan mustahik berhak untuk memperoleh dana zakat, hanya kelompok hamba sahaya dengan pengertian pada periode Rasulullah dan Sahabat, tidak ada. Para mustahik yang selalu mendapatkan zakat tersebt adalah, kelompok masyarakat yang fakir dan miskin, kelompok masyarakat yang terlilit hutang dengan kesanggupan membayar yang rendah, kelompok masyarakat yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat, di rumah sakit, panti, pendidikan, pemeliharaan lingkungan dll, kelompok masyarakat yang terlantar dalam perjalanan. Kelompok masyarakat yang baru masuk Islam (mu’alaff) serta panitia zakat itu sendiri.

Realitas yang ada menunjukkkan bahwa fakir, miskin , para da’i dan guru , pengelola rumah ibadah dan pendidikan termasuk pesantren umumnya selalu mendapatkan dana zakat. Kelompok mustahik lain, seperti mu’alaf, masyarakat terlantar dalam perjalanan, kurang mendapat kan perhatian. Dengan demikian mungkin saja terjadi untuk kelompok yang termasuk populer itu (fakir, miskin, yang berjuang fisabilillah) memperoleh dana zakat dari berbagai pihak. Pemberian dana zakat umumnya dalam skala kecil, berbentuk sembako, barang yang lebih bersifat konsumtif.

Zakat Untuk Pemberdayaan

Anggota msyarakat dengan contoh diatas termasuk kategori masyarakat miskin yang termasuk mustahik zakat. Pertanyaan muncul, kenapa setiap tahun pengumpulan zakat dan penyalurannya berlangsung dengan indikasi nilai nominal yang semakin besar, sementara di pihak lain, jumlah mustahik tidak semakin menurun ?

Kalau kita simak data-data kemiskinan di tanah air, ternyata jumlah penduduk miskin tidak lah semakin berkurang. Data BPS jumlah penduduk miskin tercatat 37,17 juta tahun 2007 ini, pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin masih 39,30 juta orang. Angka tersebut berbeda dari sudut pandang Bank Dunia yang menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin tidak berkurang, malahan bertambah dibanding tahun sebelumnya.

Dengan pengalaman pemberdayaan dengan ilustrasi contoh yang dikemukakan, dana zakat, sebetulnya dapat dioptimalkan dalam program pemberdayaan. Hal ini sebetulnya sama sekali bukanlah hal baru, beberapa lembaga pengelola zakat dan infak seperti Dompet Dhu’afa Republika, PKPU, Baziz DKI dan sejumlah lembaga lain, telah memulainya.

Replikasi dari pengalaman yang ada selanjutnya menjadi agenda kita selanjutnya Untuk itu beberapa pemikiran awal ini mungkin berguna, gerakan penyaluran zakat dengan pola konsumtif akan semakin mengarah pada pola produktif. Diantaranya adalah tujuh hal berikut:

Pertama, Proses penumbuhan kelompok beranggotakan keluarga miskin yang termasuk mustahik dengan tahapan yang berpijak pada perkembangan kebutuhan dan secara partisipatif.

Kedua, dampingan untuk membangun sikap baru bahwa belas kasihan tidak akan mampu mengubah nasib mereka kedepan menjadi titik perhatian sejak awal.

Ketiga, kebersamaan dan kejujuran sesama dalam kelompok adalah faktor pendukung keberhasilan .

Keempat, adanya sikap positif para ulama untuk memberikan peluang agar pola penyaluran zakat dengan pola produktif ini sah secara syariah. Karena sebuah ijtihad yang telah dimulai akan mendapatkan imbalan , meski kemungkinan nya belum tepat.

Kelima, membangun pemahaman bahwa dana zakat yang diterima merupakan amanah, walau sebetulnya adalah hak mereka. Dengan pengertian lain, bahwa dana amanah tersebut dapat dikelola dengan baik dan satu saat , mereka dapat menggulirkan kepada kelompok mustahik lain.

Keenam, pendampingan kelembagaan dan usaha produktif diikuti dengan fasilitasi pengadaan dan pemasaran oleh berbagai pihak. Pemerintah memberikan kemudahan, swasta menjadikan kelompok usaha mereka sebagai mitra sejajar.

Ketujuh, keseluruhan proses dan empirik penyaluran dana zakat ini direkam dengan teliti sebagai sebuah proses pembelajaran yang dapat di ”share” kepala pihak lain untuk di telaah dan dikaji kembangkan lebih jauh.

Adalah sebuah idaman, pada tahun pertama sejumlah contoh telah dimulai dan dikembangkan pada tahun kedua dengan pijakan kekurangan dan keberhasilan tahun sebelumnya, dan demikian seterusnya. Bukan tidak mungkin masyarakat yang semula miskin dan mustahik, pada tahun ketiga, telah menjadi muzakky. Subhanallah.



Jumat, 16 November 2007

Porgram Tidak Terintegrasi;Wawancara dengan P2KP

Menurut beberapa aktivis LSM, pelaksanaan P2KP di lapangan sudah cukup baik. Sayangnya, program ini tidak terintegrasi dengan program pemberdayaan masyarakat lainnya.

Menurut penilaian Kepala Divisi Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat LP3ES, Mudaris Ali Masybud, P2KP tak ubahnya kelanjutan dari program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang digulirkan pada tahun 1996. Bedanya, sasaran IDT adalah masyarakat perdesaan, sementara sasaran P2KP adalah masyarakat miskin perkotaan.

Saat itu, menurutnya, program IDT mampu mengurangi jumlah angka kemiskinan di perdesaan. Lantas bagaimana dengan P2KP? Mudaris mengaku belum menemukan keberhasilannya. Hanya saja ada persamaannya, di mana ada pembentukan kelompok, yang kemudian kelompok itu mendapatkan dana bantuan untuk usaha.

Namun, Mudaris mengakui program P2KP lebih unggul dibanding program-program pengentasan kemiskinan lainnya. Salah satu kelebihannya, dari sisi kesiapan manual dan instrumen di lapangan. Manual yang disajikan sangat rinci.

Cuma sayang, manual itu disajikan secara kaku. Akibatnya bisa menyesatkan. Terlebih bila manual itu tidak tersosialisasi secara baik oleh fasilitator di lapangan. Di samping manual,untuk sementara ini database program juga relatif baik.

Soal pelaksanaan dilapangan, secara umum P2KP dilaksanakan secara tergesa-gesa. Dalam waktu yang cepat ingin menyalurkan dana yang cukup besar. Akibatnya tidak ada persiapan sosial yang memadai sebagai program pemberdayaan. Misalnya KSM, bukan merupakan kelompok yang solid tapi lebih sebagai prasyarat untuk memperoleh dana. Demikian juga BKM, belum bisa dikatakan sebagai institusi yang siap menyeleksi usulan dan mengelola dana berputar yang jumlahnya begitu besar. BKM masih menghadapi problem legitimasi dari masyarakat luas. Karena ketergesaan-gesaan, personalia BKM tidak ditunjuk secara demokratis sebagaimana tujuan P2KP.

Selanjutnya, dari evaluasi LP3ES di DKI Jakarta, ditemukan berbagai penyalahgunaan wewenang dan penggunaan. Beberapa pelanggaran yang ditemukan antara lain (a) sosialisasi program yang tidak meluas dan transparan, sehingga diindikasikan hanya sampai kepada orang-orang dekat (teman, saudara, tetangga) dari lurah, RW atau RT; (b) distribusi bantuan hanya kepada orang dekat dan bukan orang miskin (penghasilan mereka di atas Rp 500.000); (c) adanya kesan dari masyarakat P2KP sama dengan program JPS yang membagi-bagikan uang kepada masyarakat, dan masyarakat tidak perlu membayar/mengembalikan. Pendek kata program pemberdayaan masyarakat miskin, tidak harus dengan memberikan modal. "Tidak semua orang berjiwa wiraswasta," kata Mudaris.

Sebenarnya membantu orang miskin bisa dengan cara membantu usaha/institusi usaha yang jelas- jelas bisa menyerap angkatan kerja miskin. Namun, dengan catatan, program harus menjadikan orang miskin "kuat" di hadapan pengusaha dan pemerintah sehingga tidak dimanfaatkan mereka. Oleh sebab itu, tidak kalah pentingnya adalah memperkuat kelembagaan dan solidaritas orang miskin agar bisa mengatasi persoalannya sendiri.

Kritikan tajam, datang dari Ketua Asosiasi Konsultan Pembangunan Permukiman (AKPPI) wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, Muchtar Bahar. Katanya, secara konsep P2KP, bagus. Tetapi, pelaksanaan P2KPtidak terintegrasi dengan program-program penanggu-langan kemiskinan lainnya, seperti PDM-DKE, JPS Kesehatan dan lain sebagainya. Akibatnya, terjadi kebingungan dalam masyarakat. Mengapa ada program ini dan program itu. "Ujung-ujungnya, mereka menganggap ini program bagi-bagi duit, dan tak perlu dibayar," kata Muchtar Bahar.

Wawancara dengan ADinfo

H. Muchtar Bahar,Ingin Hidup Lebih Lama untuk Memberi
Matahari sedang terik-teriknya bersinar 3 Mei lalu. Siang yang panas itu tim AdInfo meluncur ke salah satu jalan di daerah Kembangan Selatan, tidak jauh dari gedung kantor Walikota Jakarta Barat yang berdiri megah. Di sebuah jalan bernama Kampung Bugis, terdapat sebuah rumah bercat putih bernomor 33. Tidak terlihat ada kegiatan di dalam maupun sekitar rumah tersebut, hanya terlihat mobil kijang putih metalik dan dua buah sepeda motor yang terpakir di luar halaman depan rumah tersebut.


Rumah yang terlihat sederhana itu merupakan kantor dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, yakni Yayasan Bina Masyarakat Sejahtera (BMS). Untuk kegiatan yang mencakup wilayah Jakarta, BMS berkantor di rumah yang merangkap sebagai taman bacaan anak-anak tersebut. Beberapa kegiatan BMS yang telah ada di wilayah Jakarta Barat seperti kegiatan lingkungan, kesehatan balita, pendidikan dan taman bacaan untuk anak-anak selama ini telah berjalan cukup baik. Membicarakan BMS sendiri tidaklah lepas dari peran serta dan kehadiran dari seseorang. Ia merupakan salah satu pendiri yang bernama H. Muchtar Bahar. Seorang aktivis sosial yang sudah cukup lama bekerja di dunia pemerhati kesejahteraan sosial dan masyarakat. Pria berkacamata yang pada hari itu mengenakan kemeja bermotif garis-garis sederhana tersebut menyambut kehadiran AdInfo dengan ramah.Sebelum mendirikan BMS, pria kelahiran Lawang, Sumatera Barat, 4 Januari 55 tahun yang lalu ini, pernah mendirikan dan mengetuai beberapa organisasi sosial lainnya, seperti Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sosial Ekonomi (LPPSE).

Dilahirkan dan dibesarkan di tanah Sumatera, telah menumbuhkan sikap yang gigih dan pekerja keras untuk berkembang dari sosok yang satu ini. Pria ini menyelesaikan pendidikan dari sekolah dasar sampai mendapat gelar sarjana dari Universitas Islam Negeri di Padang.Dengan latar belakang sebagai sarjana pendidikan agama, selama setahun Bahar menjadi guru di Padang. “Mengikuti jejak paman,” ujar pria yang pernah mengikuti beberapa pendidikan tingkat post-graduate di Belanda, Thailand dan Philipina ini.


Setelah merasa sudah cukup puas mengajar selama setahun, pria beranak lima ini merantau ke Jakarta, menyusul kepergian kakak laki-lakinya yang telah terlebih dahulu pergi. Perkenalan pertama Bahar dengan kegiatan sosial adalah ketika ia bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) selama 12 tahun. Di lembaga tersebut, Bahar mulai mencintai pekerjaannya sebagai pekerja sosial yang selalu berhubungan dengan penelitian dan kepedulian dengan masyarakat. Sampai-sampai pekerjaan sebagai pegawai negeri yang pernah ditawarkan kepadanya tidak diambilnya.Keputusan-nya untuk terjun sebagai aktivis sosial tidak terlepas dari masa lalu yang ia alami. Kehidupan yang cukup keras telah ia rasakan sejak saat itu. “Itulah mengapa saya ingin membantu anak-anak jalanan. Karena saya juga pernah menjadi anak jalanan waktu dulu,” katanya.” Keuletan dan kegigihan telah ditunjukannya sejak ia masih berusia muda. Dari menjual koran sampai membantu ibu berjualan di pasar telah dikerjakannya sejak masih kecil hingga menjadi seorang mahasiswa. “Malu juga saya kalau ketemu teman mahasiswa saat membawa kerupuk untuk berjualan di pasar,” katanya sambil tersenyum mengingat pengalaman masa mudanya itu.


Kini pria yang beristrikan wanita bernama Yulinar Ismail ini, mengetuai BMS sejak pendirian lembaga tersebut pada 25 November 1995. Pria yang biasa di panggil “babe” oleh kalangan aktivis sosial lainnya ini, berkeinginan membesarkan peran serta BMS di dalam membangun kesejahteraan masyarakat kecil.


Dia ingin berumur panjang agar dapat memberikan kepada masyarakat sesuatu yang berguna.Bahar berharap lembaga yang ia pimpin suatu saat dapat menjadi lembaga independen dalam memantau program pemerintah (DKI) di dalam penyusunan maupun pelaksanaan program yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Sesuai dengan akronim dari BMS sendiri: Bina Masyakat Sejahtera.
ADInfo, Jakarta Barat, Edisi 17, Mei 2005.

NASIB ANAK DIDIK PASKA PILKADA DKI JAKARTA





Pilkada di wilayah DKI Jakarta telah usai, dimana pasangan Fauzi Bowo dengan Prijanto yang didukung oleh belasan partai mengungguli pasangan Adang Darajatun dan Dani Anwar yang diusung oleh partai tunggal PKS. Banyak pengamat politik memberikan catatan bahwa Adang dan Dani, patut berbangga, walau belum menang. Karena selisih perolehan suara di bawah 20 %.

Bidang pendidikan salah satu isu kampanye kedua pasangan calon Gubernur dan Wakil. Namun hanya pasangan Adang dan Dani yang akan memperjuangkan bidang ini dengan substansi program yang konkret, bukan sekedar jargon politik. Adang dan Dani mengemas panca program di bidang pendidikan, yakni menggratiskan biaya pendidikan hingga SMP termasuk madrasah, merintis pendidikan gratis sampai SMU bagi siswa berprestasi dan siswa tidak mampu, meningkatkan kualitas guru dengan pelatihan dan insentif untuk pendidikan S1 bagi guru, mewujudkan jam belajar masyarakat pembangunan labolatorium sentral untuk mendukung penyediaan sarana penunjang belajar dan merintis “in-house training” dan “vocational skill” untuk pekerja.

Kebijakan Pemerintah dan Realitas

Upaya untuk memberikan layanan pendidikan murah dan bila mungkin gratis bagi orang tua murid untuk jenjang pendidikan dasar dan memengah telah dimulai beberapa tahun berselang. Kita kenal dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp 21.666 per siswa/bulan, BOS Buku Rp 20.000/anak selama setahun dan Bantuan Operasional Pendidikan dengan dana APBD DKI Jakarta Rp. 50.000/anak/bulan. Pada tatanan kebijakan alokasi dana pendidikan selalu menjadi sorotan masyarakat peduli pendidikan. dalam RAPBD DKI Jakarta yang mencapai 20 triliun rupiah, untuk bidang pendidikan belumlah mencapai ketentuan 20 %, sesuai dengan Pasal 49 ayat 1, UU Sidiknas.

Memang untuk iuran pendidikan tidak ada lagi di sekolah yang dikelola oleh pemerintah, anak anak dibebaskan dari SPP. Tetapi bagaimana dengan pengadaan buku buku pelajaran dan buku latihan kerja?. Untuk setingkat SD kelas III, misalnya dengan ketentuan sekolah SD 03 Kedoya Pagi, Jakarta Barat murid diharapkan dapat membeli buku yang ditentukan senilai Rp.200.000 untuk delapan buah buku. Buku ini dapat dibeli di toko terdekat atau di bazar buku yang diselenggarakan oleh pengusaha di luar lingkungan sekolah. Dana yang diperlukan ini lebih sepuluh kali lebih besar dengan BOS Buku yang diterima di sekolah ini Rp 20.000/siswa. SD 03 Kedoya ini memperoleh BOS buku untuk 366 siswa.

Dengan gambaran ini Abd Rohman orang tua murid Kelas III A, mengemukakan apakah murid murid dapat memanfaatkan buku buku pelajaran tahun sebelumnya? Jawaban Kepala sekolah yang disampaikan dalam pertemuan sosialisasi yang berlangsung 10 Agutsus 2007 di salah satu ruang kelas SD 03 ini, bersifat normatif dan pada dasarnya biasa saja. Mulai tahun 2007/2008 ini telah ditentukan “Kurikulum” baru yang akan berlangsung selama 5 tahun. Banyak materi yang tidak ada pada buku pelajaran tahun sebelumnya..

Menilik konsep dan proses ajar mengajar dengan kurikulum baru, sebetulnya buku pelajaran hanya sebagai “alat dan bahan ”, yang sangat mungkin didapat dari berbagai sumber, tidak harus pada buku untuk tahun ajaran 2007/2008.

Guru dengan kreatifitas dan kapabilitasnya dapat mempersiapkan satuan pelajaran yang akan disampaikan dengan menggunakan berbagai bahan, sesuai dengan peluang yang diberikan agar sekolah dapat mengembangkan kurikulum berdasarkan potret anak didik dan kondisi lingkungan.



Apakah guru siap ? Tentu saja memang harus lebih ekstra kerja, dia akan mengemas bahan pelajaran sendiri dengan rambu rambu pedoman yang telah disiapkan oleh Diknas. Bila demikian, maka kendala orang tua untuk menyediakan buku yang termasuk “mahal” dapat dikurangi.

Memang dalam perspektif lima tahun mendatang, buku pelajaran akan digunakan selama 5 tahun, sejalan dengan PP No.19 Tahun 2005. Walau demikian, tuntutan agar guru melengkapi dan menyempurnakannya sesuai dengan potret anak didik dan lingkungan sekitar, tidak dapat dikesampingkan.

Apakah ada Jalan Keluar

Tidak mungkin menunggu tahun depan untuk menyelesaikan kendala pengadaan buku pelajaran bagi orang tua dalam tahun ajaran saat ini. Yang mungkin dilakukan adalah sekolah tidak harus mewajibkan orang tua untuk membeli buku pelajaran yang telah ditentukan. Sekolah bersama dengan guru akan menjalankan proses ajar mengajar tidak hanya pada buku pelajaran tersebut.

Persiapan yang lebih leluasa bagi guru dan kesungguhan agar tidak terjadi ketimpangan daya tampung dan daya cerna murid atas setiap mata pelajaran, antara murid yang memiliki buku dengan murid yang tidak memilikinya. Bersamaan dengan itu, orang tua diminta memberikan motivasi kepada anak bahwa tanpa membeli buku pelajaran baru, mereka tetap dapat beajar bersama dengan anak anak ;lainnya.

Tentu saja Komite Sekolah dan Masyarakat Peduli Pendidikan bersama dengan sekolah dapat memfasilitasi agar murid murid dapat belajar dengan efektif, melalui pengembangan metode dan media belajar, tambahan jam pelajaran di luar jadual yang resmi.

Kedepan, kita harapkan Gubernur terpilih yakni Fauzi Bowo dan Prijanto dapat melanjutkan gagasan dan rancangan panca upaya strategis di bidang pendidikan yang dikemukakan Adang dan Dani yang sangat simpatik dan menyangkut kepentingan masyarakat banyak, khususnya masyarakat dengan kemampuan membiayai pendidikan anak anaknya di bawah rata-rata kemampuan penduduk DKI Jakarta. .Mungkin kah ? Kenyataan nya dala agenda kerja 100 hari Gubernur dan Wagub DKI Jakarta, aspek ini tidak termasuk prioritas. (Muchtar Bahar)

Kamis, 15 November 2007

Ketemu Relawan di Manila

Ajang lokakarya pembangunan partisipatif yang berlangsung di kantor ADB Manila, 7-9 Oktober 2004 yang lalu, saya dipertemukan dengan tiga relawan dari komunitas, yaitu dari Cina, Bangladesh dan Indonesia. Relawan dari Bangladesh Aktif dalam Asosiasi Pengguna Air tingkat Daerah (Water Management Association), dari Cina aktif dalam pembangunan lingkungan dan dari Indonesia aktif dalam penyediaan air bersih. Adalah sebuah kehormatan bagi Yayasan BMS menjadi salah satu dari 10 peserta dari Indonesia, bersama dengan sekitar 20 peserta lain dari Cina dan Bangladesh. Sebuah peluang yang sangat terbatas dan memberikan manfaat ganda, bagi BMS sendiri dan juga bagi rekan rekan lainnya melalui share pengalaman yang didapat


Ibu Euis dengan empat anak, telah sejak lama aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Ia aktif dalam kegiatan PKK, Dasa Wisma, malah juga dalam program JPS tahun 1998. Namun Ibu Euis tidak mau diserahkan tugas dalam penanganan dana

Program yang ditangani sebagai relawan adalah Penyedfiaan Air bersih melalui Program Pendukung Pembe
rdayaan Masyarakat dan Pmerintah Daerah (P2MD) di Kelurahan Sukahaji, Ciparay, Bandung. Kelurahan Sukahaji termasuk padat, dengan penduduk 5.569 keluarga dengan lebih 23.365 jiwa terbagi dalam 10 RW. Mata pencarian masyarakat yang terbanyak adalah sebagai buruh, karyawan swata dan usahawan kecil. Pada awal tahun 2002 masih terdapat 146 keluarga yang termasuk pra sejahtera yang mencapai lebih 700 jiwa.

Dalam rebug antara warga pada tingkat RW dan antar RW Ibu Euis memberikan fasilitasi identifikasi persoalan di lapangan. Persoalan cukup kompleks , baik masalah penggangguran, sosial, perumahan dan malahan mata pencarian bagi keluarga yang tergolong miskin. Hasil dari proses dialog dengan warga yang berlangsung lebih 3 bulan akhirnya sampai pada identifikasi persoalan yang hampir merata dihadapi oleh ssemua warga , yaitu air bersih. Pada musim kemarau sumur gali (air tanah ) kering dan PDAM masih jauh dari harapan untuk masuk ke wilayah ini.

Dengan dampingan P2MD kegiatan ini dirancang bersama masyarakat dimana lokasinya dan bagaimana mekanisme pembangunan serta pengelelolaan selanjutnya. Untuk tahap pertama disepakati hanya 1 unit sarana penyediaan air bersih dengan sumur bor dengan kedalaman 100 m, dengan system submersible, dilengkapi dengan sebuah tangki besar, gerobak distribusi dan jerigen. Persoalan yang cukup rumit adalah dimana mau ditaruh fasilitas ini. Karena sarana penyediaan air bersih ini akan menjangkau 7 RW yang benar benar membutuhkan. Ibu Euis dengan tokoh masyarakat akhirnya memilih tempat yang netral, yaitu di lingkungan kantor RW 01 yang mudah dijangkau oleh RW lain.

Pembangunan berlangsung selama 30 hari dengan dukungan dan partisipasi warga, baik tenaga kerja, kosumsi dan juga bahan bangunan. Tim Inti Pembangunan dipilih dari wakil RW, sebanyak 10 orang, termasuk Ibu Euis. Dukungan dana dan material dari P2MD senilai Rp 37,5 juta , menjadi lebih Rp 50,juta setelah konstruksi selesai. Penyediaan air bersih ini telah menjangkau 2000 warga.

Dalam prespektif jangka panjang Ibu Euis mengajak warga untuk mengelola sarana air bersih ini secara terbuka. Untuk itu disepakati dalam rapat bersama antara wakil warga, desa dan P2MD pengelolaan nya diserahkan kepada LPM Kelurahan Sukahaji.

Sarana air bersih ini berjalan efektif dan diperkirakan dalam 5 tahun sudah akan dapat diperoleh kembali dana investasi awal, karena setiap bulan layanan air bersih ini memperoleh masukan Rp 1,8 juta. Sepertiga dana ini disimpan untuk cadangan pemeliharaan, bantuan untuk warga miskin, penguatan Taman Kanak Kanak dan dukungan kegiatan RW. Biaya setiap bulan hanya 18 %, biaya operator/pengelola 30 % dan pemeliharaan rutin 12 % dari pendapatan keseluruhan.

Ketika ditanya apa yang menjadi kunci keberhasilan program ini, sehingga diundang untuk menceritakan di Kantor ADB Manila, 7 – 9 Oktober 2004. Dengan lugu ibu Euis menjawab “selalu musyawarah, semua terbuka dan kegiatan ini betul betul kebutuhan masyarakat”. Saya amah, senang sekali, kalau bisa berbuat untuk warga, karena saya orang kecil, suami saya hanya sopir angkot (Muchtar Bahar)

Kamis, 08 November 2007

Belajar Tanggulangi Kemiskinan dari Sang Peraih Nobel

Perdamaian dan Kemiskinan

Tahun ini Prof. Muhammad Yunus, penggiat keuangan mikro bagi rakyat miskin di Banglades, memperoleh anugerah hadiah Nobel Perdamaian (Peace Nobel Prize). Dunia mengakui, kemiskinan adalah salah satu pangkal tolak ketidak damaian di dunia. Atau dengan kata lain, ketidak damaian merupakan sumber kemiskinan.
Demikian terungkap dalam acara Dialog dan Halal Bihalal Masyarakat Microfinance Indonesia di kantor PT PNM, Jakarta, pada Rabu (8/11/2006), dengan tuan rumah PT PNM, Gema PKM Indonesia dan BRI. Acara bertema “menyongsong masa depan bangsa Indonesia melalui keuangan mikro” ini dihadiri pula oleh Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bayu Krisnamurti.


Pada kesempatan tersebut Bayu menekankan, anugerah Nobel dengan dimensi perdamaian ini merupakan anugerah ketiga, setelah sebelumnya diterima oleh Norman Borlough tahun 1970. Borlough adalah seorang ahli pertanian yang mendedikasikan seluruh hidupnya bagi usaha penanggulangan kelaparan di Meksiko dan India. Menyusul tahun 1979, Nobel perdamaian diterima Mother Theresa, yang mengabdi untuk meringankan beban orang miskin di India.


Terkait ini, bisa juga disimak pemberian anugerah serupa kepada organisasi Doctor Without Borders dari Belgia dan Wangani Maathai dari Kenya tahun 2004 untuk usaha pembangunan berkelanjutan.


Makna


Dalam acara dialog dan halal bihalal ini diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan perjuangan orang-orang hebat di atas hingga memperoleh Nobel Perdamaian. Pertama, perjuangan tersebut bukanlah sebuah kegiatan yang terwujud dengan cara “sim salabim.” Perjuangan M. Yunus, Mother Theresa dan juga Norman Borlough, dicapai setelah lebih dari 20 tahun, yang dimulai dengan skala kecil. Kedua, upaya dilakukan terkendali dengan adanya tujuan yang jelas, konkret serta terukur.


Ketiga, dengan durasi perjuangan panjang itu menunjukkan ada suatu keyakinan kuat atas konsep, pendekatan dan proses yang tidak pernah berubah, sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Keempat, M Yunus mempunyai pendekatan dan instrumen pendukung, seperti konsep kelompok kecil, gabungan kelompok dengan proses pembelajaran yang bekesinambungan. Kelima, adanya organisasi yang dibangun bersama dengan masyarakat. Keberhasilan Grameen Bank dengan kepemilikan saham mayoritas oleh anggota memperlihatkan hal ini.


Refleksi


Kelima makna dari pengalaman M.Yunus dengan jelas memberikan kritisi pada kita dalam berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang selalu berubah, sesuai dengan pemegang kekuasaan. Kita lihat pendekatan perbaikan kampung, IDT, sekarang BLT. Acuan konsep dan strategi yang menjadi acuan berbagai program hingga saat ini pun masih belum jelas. Sebagai contoh nyata adalah perbedaan yang menyolok tentang siapa yang miskin dan berapa banyak.


Masih segar bagi kita data kemiskinan yang digunakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan, pada Agustus 2006, yang ternyata tidak akurat. Keangkuhan pelaksana terhadap pandangan dan konsep penanggulangan kemiskinan yang diterapkan menambah kesimpang-siuran. Berbagai departemen memiliki konsep dan pendekatan berbeda, dan itu “ditumpahkan” kepada masyarakat. Tidak hanya masyarakat yang bingung, petugas pun lebih awal bingungnya.


Mungkin masih teringat komitmen pemerintah yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pencanangan International Year of Micro Credit, 2005, di Indonesia, serta Gelar Karya UKM di Gedung SME co Promotion Center, Jakarta, yang mengutip pernyataan Sekretaris PBB, Koffi Anan. Yakni, akses terhadap keuangan yang berkelanjutan (sustainable) memberikan kesempatan bagi penduduk miskin untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif, yang pada gilirannya akan mengeluarkan mereka dari penjara kemiskinan (prison of poverty), hidup layak sebagaimana masyarakat lain.


Setelah hampir dua tahun dari pernyataan tersebut, ternyata tidak banyak terlihat perwujudannya. Mungkin hal ini akan marak lagi menjelang tahun 2009, saat pemilihan presiden secara langsung di negeri tercinta ini kembali digelar.


Perjuangan Tanpa Lelah


Upaya Prof. Muhammad Yunus dimulai tahun 1976 dengan merintis Grameen Bank, sebuah Lembaga Keuangan Pedesaan yang idealismenya menciptakan sistem pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin, bepijak pada rasa saling percaya, akuntabilitas, partisipasi dan kreatifitas. Kredit mikro disalurkan tanpa mensyaratkan jaminan, melainkan jaminan kepercayaan bersama. Grameen Bank telah direplikasi lebih di 50 negara, termasuk di Indonesia.


Hingga saat ini Grameen Bank dimiliki oleh masyarakat miskin yang dilayaninya. Peminjam terdiri dari kelompok miskin—umumnya perempuan—yang memiliki 90% sahamnya. Sedangkan 10% lainnya dimiliki oleh pemerintah. Hingga September 2006, Grameen Bank memiliki 2.247 kantor cabang dan melayani 6.676.938 anggota (96,7%-nya adalah perempuan) dengan nilai total outstanding kredit sebesar 458,81 juta dolar AS.


Perjuangan Yunus selama 30 tahun ini memberikan pelajaran yang menarik. Bahwa ternyata pembelajaran tentang keuangan mikro tidak harus dari negara-negara kaya, seperti selama ini dianut. Negara miskin dengan Grameen Bank ternyata telah mendobrak pandangan “hanya negara kaya yang patut sebagai sumber pembelajaran.” ( Muchtar Bahar)