Jumat, 16 November 2007

Porgram Tidak Terintegrasi;Wawancara dengan P2KP

Menurut beberapa aktivis LSM, pelaksanaan P2KP di lapangan sudah cukup baik. Sayangnya, program ini tidak terintegrasi dengan program pemberdayaan masyarakat lainnya.

Menurut penilaian Kepala Divisi Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat LP3ES, Mudaris Ali Masybud, P2KP tak ubahnya kelanjutan dari program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang digulirkan pada tahun 1996. Bedanya, sasaran IDT adalah masyarakat perdesaan, sementara sasaran P2KP adalah masyarakat miskin perkotaan.

Saat itu, menurutnya, program IDT mampu mengurangi jumlah angka kemiskinan di perdesaan. Lantas bagaimana dengan P2KP? Mudaris mengaku belum menemukan keberhasilannya. Hanya saja ada persamaannya, di mana ada pembentukan kelompok, yang kemudian kelompok itu mendapatkan dana bantuan untuk usaha.

Namun, Mudaris mengakui program P2KP lebih unggul dibanding program-program pengentasan kemiskinan lainnya. Salah satu kelebihannya, dari sisi kesiapan manual dan instrumen di lapangan. Manual yang disajikan sangat rinci.

Cuma sayang, manual itu disajikan secara kaku. Akibatnya bisa menyesatkan. Terlebih bila manual itu tidak tersosialisasi secara baik oleh fasilitator di lapangan. Di samping manual,untuk sementara ini database program juga relatif baik.

Soal pelaksanaan dilapangan, secara umum P2KP dilaksanakan secara tergesa-gesa. Dalam waktu yang cepat ingin menyalurkan dana yang cukup besar. Akibatnya tidak ada persiapan sosial yang memadai sebagai program pemberdayaan. Misalnya KSM, bukan merupakan kelompok yang solid tapi lebih sebagai prasyarat untuk memperoleh dana. Demikian juga BKM, belum bisa dikatakan sebagai institusi yang siap menyeleksi usulan dan mengelola dana berputar yang jumlahnya begitu besar. BKM masih menghadapi problem legitimasi dari masyarakat luas. Karena ketergesaan-gesaan, personalia BKM tidak ditunjuk secara demokratis sebagaimana tujuan P2KP.

Selanjutnya, dari evaluasi LP3ES di DKI Jakarta, ditemukan berbagai penyalahgunaan wewenang dan penggunaan. Beberapa pelanggaran yang ditemukan antara lain (a) sosialisasi program yang tidak meluas dan transparan, sehingga diindikasikan hanya sampai kepada orang-orang dekat (teman, saudara, tetangga) dari lurah, RW atau RT; (b) distribusi bantuan hanya kepada orang dekat dan bukan orang miskin (penghasilan mereka di atas Rp 500.000); (c) adanya kesan dari masyarakat P2KP sama dengan program JPS yang membagi-bagikan uang kepada masyarakat, dan masyarakat tidak perlu membayar/mengembalikan. Pendek kata program pemberdayaan masyarakat miskin, tidak harus dengan memberikan modal. "Tidak semua orang berjiwa wiraswasta," kata Mudaris.

Sebenarnya membantu orang miskin bisa dengan cara membantu usaha/institusi usaha yang jelas- jelas bisa menyerap angkatan kerja miskin. Namun, dengan catatan, program harus menjadikan orang miskin "kuat" di hadapan pengusaha dan pemerintah sehingga tidak dimanfaatkan mereka. Oleh sebab itu, tidak kalah pentingnya adalah memperkuat kelembagaan dan solidaritas orang miskin agar bisa mengatasi persoalannya sendiri.

Kritikan tajam, datang dari Ketua Asosiasi Konsultan Pembangunan Permukiman (AKPPI) wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, Muchtar Bahar. Katanya, secara konsep P2KP, bagus. Tetapi, pelaksanaan P2KPtidak terintegrasi dengan program-program penanggu-langan kemiskinan lainnya, seperti PDM-DKE, JPS Kesehatan dan lain sebagainya. Akibatnya, terjadi kebingungan dalam masyarakat. Mengapa ada program ini dan program itu. "Ujung-ujungnya, mereka menganggap ini program bagi-bagi duit, dan tak perlu dibayar," kata Muchtar Bahar.

Wawancara dengan ADinfo

H. Muchtar Bahar,Ingin Hidup Lebih Lama untuk Memberi
Matahari sedang terik-teriknya bersinar 3 Mei lalu. Siang yang panas itu tim AdInfo meluncur ke salah satu jalan di daerah Kembangan Selatan, tidak jauh dari gedung kantor Walikota Jakarta Barat yang berdiri megah. Di sebuah jalan bernama Kampung Bugis, terdapat sebuah rumah bercat putih bernomor 33. Tidak terlihat ada kegiatan di dalam maupun sekitar rumah tersebut, hanya terlihat mobil kijang putih metalik dan dua buah sepeda motor yang terpakir di luar halaman depan rumah tersebut.


Rumah yang terlihat sederhana itu merupakan kantor dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, yakni Yayasan Bina Masyarakat Sejahtera (BMS). Untuk kegiatan yang mencakup wilayah Jakarta, BMS berkantor di rumah yang merangkap sebagai taman bacaan anak-anak tersebut. Beberapa kegiatan BMS yang telah ada di wilayah Jakarta Barat seperti kegiatan lingkungan, kesehatan balita, pendidikan dan taman bacaan untuk anak-anak selama ini telah berjalan cukup baik. Membicarakan BMS sendiri tidaklah lepas dari peran serta dan kehadiran dari seseorang. Ia merupakan salah satu pendiri yang bernama H. Muchtar Bahar. Seorang aktivis sosial yang sudah cukup lama bekerja di dunia pemerhati kesejahteraan sosial dan masyarakat. Pria berkacamata yang pada hari itu mengenakan kemeja bermotif garis-garis sederhana tersebut menyambut kehadiran AdInfo dengan ramah.Sebelum mendirikan BMS, pria kelahiran Lawang, Sumatera Barat, 4 Januari 55 tahun yang lalu ini, pernah mendirikan dan mengetuai beberapa organisasi sosial lainnya, seperti Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sosial Ekonomi (LPPSE).

Dilahirkan dan dibesarkan di tanah Sumatera, telah menumbuhkan sikap yang gigih dan pekerja keras untuk berkembang dari sosok yang satu ini. Pria ini menyelesaikan pendidikan dari sekolah dasar sampai mendapat gelar sarjana dari Universitas Islam Negeri di Padang.Dengan latar belakang sebagai sarjana pendidikan agama, selama setahun Bahar menjadi guru di Padang. “Mengikuti jejak paman,” ujar pria yang pernah mengikuti beberapa pendidikan tingkat post-graduate di Belanda, Thailand dan Philipina ini.


Setelah merasa sudah cukup puas mengajar selama setahun, pria beranak lima ini merantau ke Jakarta, menyusul kepergian kakak laki-lakinya yang telah terlebih dahulu pergi. Perkenalan pertama Bahar dengan kegiatan sosial adalah ketika ia bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) selama 12 tahun. Di lembaga tersebut, Bahar mulai mencintai pekerjaannya sebagai pekerja sosial yang selalu berhubungan dengan penelitian dan kepedulian dengan masyarakat. Sampai-sampai pekerjaan sebagai pegawai negeri yang pernah ditawarkan kepadanya tidak diambilnya.Keputusan-nya untuk terjun sebagai aktivis sosial tidak terlepas dari masa lalu yang ia alami. Kehidupan yang cukup keras telah ia rasakan sejak saat itu. “Itulah mengapa saya ingin membantu anak-anak jalanan. Karena saya juga pernah menjadi anak jalanan waktu dulu,” katanya.” Keuletan dan kegigihan telah ditunjukannya sejak ia masih berusia muda. Dari menjual koran sampai membantu ibu berjualan di pasar telah dikerjakannya sejak masih kecil hingga menjadi seorang mahasiswa. “Malu juga saya kalau ketemu teman mahasiswa saat membawa kerupuk untuk berjualan di pasar,” katanya sambil tersenyum mengingat pengalaman masa mudanya itu.


Kini pria yang beristrikan wanita bernama Yulinar Ismail ini, mengetuai BMS sejak pendirian lembaga tersebut pada 25 November 1995. Pria yang biasa di panggil “babe” oleh kalangan aktivis sosial lainnya ini, berkeinginan membesarkan peran serta BMS di dalam membangun kesejahteraan masyarakat kecil.


Dia ingin berumur panjang agar dapat memberikan kepada masyarakat sesuatu yang berguna.Bahar berharap lembaga yang ia pimpin suatu saat dapat menjadi lembaga independen dalam memantau program pemerintah (DKI) di dalam penyusunan maupun pelaksanaan program yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Sesuai dengan akronim dari BMS sendiri: Bina Masyakat Sejahtera.
ADInfo, Jakarta Barat, Edisi 17, Mei 2005.

NASIB ANAK DIDIK PASKA PILKADA DKI JAKARTA





Pilkada di wilayah DKI Jakarta telah usai, dimana pasangan Fauzi Bowo dengan Prijanto yang didukung oleh belasan partai mengungguli pasangan Adang Darajatun dan Dani Anwar yang diusung oleh partai tunggal PKS. Banyak pengamat politik memberikan catatan bahwa Adang dan Dani, patut berbangga, walau belum menang. Karena selisih perolehan suara di bawah 20 %.

Bidang pendidikan salah satu isu kampanye kedua pasangan calon Gubernur dan Wakil. Namun hanya pasangan Adang dan Dani yang akan memperjuangkan bidang ini dengan substansi program yang konkret, bukan sekedar jargon politik. Adang dan Dani mengemas panca program di bidang pendidikan, yakni menggratiskan biaya pendidikan hingga SMP termasuk madrasah, merintis pendidikan gratis sampai SMU bagi siswa berprestasi dan siswa tidak mampu, meningkatkan kualitas guru dengan pelatihan dan insentif untuk pendidikan S1 bagi guru, mewujudkan jam belajar masyarakat pembangunan labolatorium sentral untuk mendukung penyediaan sarana penunjang belajar dan merintis “in-house training” dan “vocational skill” untuk pekerja.

Kebijakan Pemerintah dan Realitas

Upaya untuk memberikan layanan pendidikan murah dan bila mungkin gratis bagi orang tua murid untuk jenjang pendidikan dasar dan memengah telah dimulai beberapa tahun berselang. Kita kenal dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp 21.666 per siswa/bulan, BOS Buku Rp 20.000/anak selama setahun dan Bantuan Operasional Pendidikan dengan dana APBD DKI Jakarta Rp. 50.000/anak/bulan. Pada tatanan kebijakan alokasi dana pendidikan selalu menjadi sorotan masyarakat peduli pendidikan. dalam RAPBD DKI Jakarta yang mencapai 20 triliun rupiah, untuk bidang pendidikan belumlah mencapai ketentuan 20 %, sesuai dengan Pasal 49 ayat 1, UU Sidiknas.

Memang untuk iuran pendidikan tidak ada lagi di sekolah yang dikelola oleh pemerintah, anak anak dibebaskan dari SPP. Tetapi bagaimana dengan pengadaan buku buku pelajaran dan buku latihan kerja?. Untuk setingkat SD kelas III, misalnya dengan ketentuan sekolah SD 03 Kedoya Pagi, Jakarta Barat murid diharapkan dapat membeli buku yang ditentukan senilai Rp.200.000 untuk delapan buah buku. Buku ini dapat dibeli di toko terdekat atau di bazar buku yang diselenggarakan oleh pengusaha di luar lingkungan sekolah. Dana yang diperlukan ini lebih sepuluh kali lebih besar dengan BOS Buku yang diterima di sekolah ini Rp 20.000/siswa. SD 03 Kedoya ini memperoleh BOS buku untuk 366 siswa.

Dengan gambaran ini Abd Rohman orang tua murid Kelas III A, mengemukakan apakah murid murid dapat memanfaatkan buku buku pelajaran tahun sebelumnya? Jawaban Kepala sekolah yang disampaikan dalam pertemuan sosialisasi yang berlangsung 10 Agutsus 2007 di salah satu ruang kelas SD 03 ini, bersifat normatif dan pada dasarnya biasa saja. Mulai tahun 2007/2008 ini telah ditentukan “Kurikulum” baru yang akan berlangsung selama 5 tahun. Banyak materi yang tidak ada pada buku pelajaran tahun sebelumnya..

Menilik konsep dan proses ajar mengajar dengan kurikulum baru, sebetulnya buku pelajaran hanya sebagai “alat dan bahan ”, yang sangat mungkin didapat dari berbagai sumber, tidak harus pada buku untuk tahun ajaran 2007/2008.

Guru dengan kreatifitas dan kapabilitasnya dapat mempersiapkan satuan pelajaran yang akan disampaikan dengan menggunakan berbagai bahan, sesuai dengan peluang yang diberikan agar sekolah dapat mengembangkan kurikulum berdasarkan potret anak didik dan kondisi lingkungan.



Apakah guru siap ? Tentu saja memang harus lebih ekstra kerja, dia akan mengemas bahan pelajaran sendiri dengan rambu rambu pedoman yang telah disiapkan oleh Diknas. Bila demikian, maka kendala orang tua untuk menyediakan buku yang termasuk “mahal” dapat dikurangi.

Memang dalam perspektif lima tahun mendatang, buku pelajaran akan digunakan selama 5 tahun, sejalan dengan PP No.19 Tahun 2005. Walau demikian, tuntutan agar guru melengkapi dan menyempurnakannya sesuai dengan potret anak didik dan lingkungan sekitar, tidak dapat dikesampingkan.

Apakah ada Jalan Keluar

Tidak mungkin menunggu tahun depan untuk menyelesaikan kendala pengadaan buku pelajaran bagi orang tua dalam tahun ajaran saat ini. Yang mungkin dilakukan adalah sekolah tidak harus mewajibkan orang tua untuk membeli buku pelajaran yang telah ditentukan. Sekolah bersama dengan guru akan menjalankan proses ajar mengajar tidak hanya pada buku pelajaran tersebut.

Persiapan yang lebih leluasa bagi guru dan kesungguhan agar tidak terjadi ketimpangan daya tampung dan daya cerna murid atas setiap mata pelajaran, antara murid yang memiliki buku dengan murid yang tidak memilikinya. Bersamaan dengan itu, orang tua diminta memberikan motivasi kepada anak bahwa tanpa membeli buku pelajaran baru, mereka tetap dapat beajar bersama dengan anak anak ;lainnya.

Tentu saja Komite Sekolah dan Masyarakat Peduli Pendidikan bersama dengan sekolah dapat memfasilitasi agar murid murid dapat belajar dengan efektif, melalui pengembangan metode dan media belajar, tambahan jam pelajaran di luar jadual yang resmi.

Kedepan, kita harapkan Gubernur terpilih yakni Fauzi Bowo dan Prijanto dapat melanjutkan gagasan dan rancangan panca upaya strategis di bidang pendidikan yang dikemukakan Adang dan Dani yang sangat simpatik dan menyangkut kepentingan masyarakat banyak, khususnya masyarakat dengan kemampuan membiayai pendidikan anak anaknya di bawah rata-rata kemampuan penduduk DKI Jakarta. .Mungkin kah ? Kenyataan nya dala agenda kerja 100 hari Gubernur dan Wagub DKI Jakarta, aspek ini tidak termasuk prioritas. (Muchtar Bahar)

Kamis, 15 November 2007

Ketemu Relawan di Manila

Ajang lokakarya pembangunan partisipatif yang berlangsung di kantor ADB Manila, 7-9 Oktober 2004 yang lalu, saya dipertemukan dengan tiga relawan dari komunitas, yaitu dari Cina, Bangladesh dan Indonesia. Relawan dari Bangladesh Aktif dalam Asosiasi Pengguna Air tingkat Daerah (Water Management Association), dari Cina aktif dalam pembangunan lingkungan dan dari Indonesia aktif dalam penyediaan air bersih. Adalah sebuah kehormatan bagi Yayasan BMS menjadi salah satu dari 10 peserta dari Indonesia, bersama dengan sekitar 20 peserta lain dari Cina dan Bangladesh. Sebuah peluang yang sangat terbatas dan memberikan manfaat ganda, bagi BMS sendiri dan juga bagi rekan rekan lainnya melalui share pengalaman yang didapat


Ibu Euis dengan empat anak, telah sejak lama aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Ia aktif dalam kegiatan PKK, Dasa Wisma, malah juga dalam program JPS tahun 1998. Namun Ibu Euis tidak mau diserahkan tugas dalam penanganan dana

Program yang ditangani sebagai relawan adalah Penyedfiaan Air bersih melalui Program Pendukung Pembe
rdayaan Masyarakat dan Pmerintah Daerah (P2MD) di Kelurahan Sukahaji, Ciparay, Bandung. Kelurahan Sukahaji termasuk padat, dengan penduduk 5.569 keluarga dengan lebih 23.365 jiwa terbagi dalam 10 RW. Mata pencarian masyarakat yang terbanyak adalah sebagai buruh, karyawan swata dan usahawan kecil. Pada awal tahun 2002 masih terdapat 146 keluarga yang termasuk pra sejahtera yang mencapai lebih 700 jiwa.

Dalam rebug antara warga pada tingkat RW dan antar RW Ibu Euis memberikan fasilitasi identifikasi persoalan di lapangan. Persoalan cukup kompleks , baik masalah penggangguran, sosial, perumahan dan malahan mata pencarian bagi keluarga yang tergolong miskin. Hasil dari proses dialog dengan warga yang berlangsung lebih 3 bulan akhirnya sampai pada identifikasi persoalan yang hampir merata dihadapi oleh ssemua warga , yaitu air bersih. Pada musim kemarau sumur gali (air tanah ) kering dan PDAM masih jauh dari harapan untuk masuk ke wilayah ini.

Dengan dampingan P2MD kegiatan ini dirancang bersama masyarakat dimana lokasinya dan bagaimana mekanisme pembangunan serta pengelelolaan selanjutnya. Untuk tahap pertama disepakati hanya 1 unit sarana penyediaan air bersih dengan sumur bor dengan kedalaman 100 m, dengan system submersible, dilengkapi dengan sebuah tangki besar, gerobak distribusi dan jerigen. Persoalan yang cukup rumit adalah dimana mau ditaruh fasilitas ini. Karena sarana penyediaan air bersih ini akan menjangkau 7 RW yang benar benar membutuhkan. Ibu Euis dengan tokoh masyarakat akhirnya memilih tempat yang netral, yaitu di lingkungan kantor RW 01 yang mudah dijangkau oleh RW lain.

Pembangunan berlangsung selama 30 hari dengan dukungan dan partisipasi warga, baik tenaga kerja, kosumsi dan juga bahan bangunan. Tim Inti Pembangunan dipilih dari wakil RW, sebanyak 10 orang, termasuk Ibu Euis. Dukungan dana dan material dari P2MD senilai Rp 37,5 juta , menjadi lebih Rp 50,juta setelah konstruksi selesai. Penyediaan air bersih ini telah menjangkau 2000 warga.

Dalam prespektif jangka panjang Ibu Euis mengajak warga untuk mengelola sarana air bersih ini secara terbuka. Untuk itu disepakati dalam rapat bersama antara wakil warga, desa dan P2MD pengelolaan nya diserahkan kepada LPM Kelurahan Sukahaji.

Sarana air bersih ini berjalan efektif dan diperkirakan dalam 5 tahun sudah akan dapat diperoleh kembali dana investasi awal, karena setiap bulan layanan air bersih ini memperoleh masukan Rp 1,8 juta. Sepertiga dana ini disimpan untuk cadangan pemeliharaan, bantuan untuk warga miskin, penguatan Taman Kanak Kanak dan dukungan kegiatan RW. Biaya setiap bulan hanya 18 %, biaya operator/pengelola 30 % dan pemeliharaan rutin 12 % dari pendapatan keseluruhan.

Ketika ditanya apa yang menjadi kunci keberhasilan program ini, sehingga diundang untuk menceritakan di Kantor ADB Manila, 7 – 9 Oktober 2004. Dengan lugu ibu Euis menjawab “selalu musyawarah, semua terbuka dan kegiatan ini betul betul kebutuhan masyarakat”. Saya amah, senang sekali, kalau bisa berbuat untuk warga, karena saya orang kecil, suami saya hanya sopir angkot (Muchtar Bahar)

Kamis, 08 November 2007

Belajar Tanggulangi Kemiskinan dari Sang Peraih Nobel

Perdamaian dan Kemiskinan

Tahun ini Prof. Muhammad Yunus, penggiat keuangan mikro bagi rakyat miskin di Banglades, memperoleh anugerah hadiah Nobel Perdamaian (Peace Nobel Prize). Dunia mengakui, kemiskinan adalah salah satu pangkal tolak ketidak damaian di dunia. Atau dengan kata lain, ketidak damaian merupakan sumber kemiskinan.
Demikian terungkap dalam acara Dialog dan Halal Bihalal Masyarakat Microfinance Indonesia di kantor PT PNM, Jakarta, pada Rabu (8/11/2006), dengan tuan rumah PT PNM, Gema PKM Indonesia dan BRI. Acara bertema “menyongsong masa depan bangsa Indonesia melalui keuangan mikro” ini dihadiri pula oleh Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bayu Krisnamurti.


Pada kesempatan tersebut Bayu menekankan, anugerah Nobel dengan dimensi perdamaian ini merupakan anugerah ketiga, setelah sebelumnya diterima oleh Norman Borlough tahun 1970. Borlough adalah seorang ahli pertanian yang mendedikasikan seluruh hidupnya bagi usaha penanggulangan kelaparan di Meksiko dan India. Menyusul tahun 1979, Nobel perdamaian diterima Mother Theresa, yang mengabdi untuk meringankan beban orang miskin di India.


Terkait ini, bisa juga disimak pemberian anugerah serupa kepada organisasi Doctor Without Borders dari Belgia dan Wangani Maathai dari Kenya tahun 2004 untuk usaha pembangunan berkelanjutan.


Makna


Dalam acara dialog dan halal bihalal ini diperoleh beberapa kesimpulan terkait dengan perjuangan orang-orang hebat di atas hingga memperoleh Nobel Perdamaian. Pertama, perjuangan tersebut bukanlah sebuah kegiatan yang terwujud dengan cara “sim salabim.” Perjuangan M. Yunus, Mother Theresa dan juga Norman Borlough, dicapai setelah lebih dari 20 tahun, yang dimulai dengan skala kecil. Kedua, upaya dilakukan terkendali dengan adanya tujuan yang jelas, konkret serta terukur.


Ketiga, dengan durasi perjuangan panjang itu menunjukkan ada suatu keyakinan kuat atas konsep, pendekatan dan proses yang tidak pernah berubah, sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Keempat, M Yunus mempunyai pendekatan dan instrumen pendukung, seperti konsep kelompok kecil, gabungan kelompok dengan proses pembelajaran yang bekesinambungan. Kelima, adanya organisasi yang dibangun bersama dengan masyarakat. Keberhasilan Grameen Bank dengan kepemilikan saham mayoritas oleh anggota memperlihatkan hal ini.


Refleksi


Kelima makna dari pengalaman M.Yunus dengan jelas memberikan kritisi pada kita dalam berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang selalu berubah, sesuai dengan pemegang kekuasaan. Kita lihat pendekatan perbaikan kampung, IDT, sekarang BLT. Acuan konsep dan strategi yang menjadi acuan berbagai program hingga saat ini pun masih belum jelas. Sebagai contoh nyata adalah perbedaan yang menyolok tentang siapa yang miskin dan berapa banyak.


Masih segar bagi kita data kemiskinan yang digunakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan, pada Agustus 2006, yang ternyata tidak akurat. Keangkuhan pelaksana terhadap pandangan dan konsep penanggulangan kemiskinan yang diterapkan menambah kesimpang-siuran. Berbagai departemen memiliki konsep dan pendekatan berbeda, dan itu “ditumpahkan” kepada masyarakat. Tidak hanya masyarakat yang bingung, petugas pun lebih awal bingungnya.


Mungkin masih teringat komitmen pemerintah yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat pencanangan International Year of Micro Credit, 2005, di Indonesia, serta Gelar Karya UKM di Gedung SME co Promotion Center, Jakarta, yang mengutip pernyataan Sekretaris PBB, Koffi Anan. Yakni, akses terhadap keuangan yang berkelanjutan (sustainable) memberikan kesempatan bagi penduduk miskin untuk melakukan kegiatan ekonomi produktif, yang pada gilirannya akan mengeluarkan mereka dari penjara kemiskinan (prison of poverty), hidup layak sebagaimana masyarakat lain.


Setelah hampir dua tahun dari pernyataan tersebut, ternyata tidak banyak terlihat perwujudannya. Mungkin hal ini akan marak lagi menjelang tahun 2009, saat pemilihan presiden secara langsung di negeri tercinta ini kembali digelar.


Perjuangan Tanpa Lelah


Upaya Prof. Muhammad Yunus dimulai tahun 1976 dengan merintis Grameen Bank, sebuah Lembaga Keuangan Pedesaan yang idealismenya menciptakan sistem pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin, bepijak pada rasa saling percaya, akuntabilitas, partisipasi dan kreatifitas. Kredit mikro disalurkan tanpa mensyaratkan jaminan, melainkan jaminan kepercayaan bersama. Grameen Bank telah direplikasi lebih di 50 negara, termasuk di Indonesia.


Hingga saat ini Grameen Bank dimiliki oleh masyarakat miskin yang dilayaninya. Peminjam terdiri dari kelompok miskin—umumnya perempuan—yang memiliki 90% sahamnya. Sedangkan 10% lainnya dimiliki oleh pemerintah. Hingga September 2006, Grameen Bank memiliki 2.247 kantor cabang dan melayani 6.676.938 anggota (96,7%-nya adalah perempuan) dengan nilai total outstanding kredit sebesar 458,81 juta dolar AS.


Perjuangan Yunus selama 30 tahun ini memberikan pelajaran yang menarik. Bahwa ternyata pembelajaran tentang keuangan mikro tidak harus dari negara-negara kaya, seperti selama ini dianut. Negara miskin dengan Grameen Bank ternyata telah mendobrak pandangan “hanya negara kaya yang patut sebagai sumber pembelajaran.” ( Muchtar Bahar)

Pembangunan Rusun Sederhana Pengalaman dari Jiran


Hari Habitat baru saja diperingati di Yogyakarta, 4 Oktober 2004 dengan berbagai kegiatan seperti bazar, seminar dan pameran dengan tema “City : Engine for Rural Development” Even ini relevan dengan kunjungan singkat ke lokasi Proyek Philippines Business for Social Progress (PBSP) , 9 Oktober 2004 bersama sama dengan peserta lokakarya dari Bangladesh. Pengalaman ini mungkin berguna dalam melakukan rehabilitasi permukiman akibat gempa dan badai tsunami di Aceh.

Lokasi program ini termasuk salah satu dari 24 lokasi pembangunan rusun sederhana, yang berada di 9 kota di Kota Metropolitan Manila dengan kemasan Startegic Private Sector Partnerships for Urban Reduction Program (STEP-UP).

Marieta Kaciero adalah salah seorang penghuni Rusun di Taguig dengan luas lahan 72 ha. Rusun ini dibangun sejak dua tahun yang lalu untuk 60 keluarga berlantai 3 dalam tiga blok. Marieta adalah salah satu dari 6.000 pemanfaat program STEP-UP tinggal di lantai 3 dengan ukuran 38 m2. Ruang utama secara terbuka tanpa sekat, dapur dan kamar mandi di pisah. Marieta ibu rumah tangga dengan suami buruh tekstil dengan gaji setiap bulan sekitar 12.000 peso, atau sekitar . Keluarga ini mulai tinggal di lokasi ini bulan April 2004 dan setiap bulan ia akan membayar angsuran 500 peso. Biaya listrik dan air, setiap hari sekitar 20 pesos. Demikian juga halnya dengan Sauki Umar yang tinggal di lantai dasar , ia tinggal di Rusun ini sejak bulan Maret 2004. Sauki Umar mempunyai anak 1 orang dengan suami pedagang di pasar tradisionil sekitar 8 km dari rusun ini. Ia merasa bahwa angsuran pokok dan biaya keperluan harian, masih terjangkau.

Program ini merupakan kerja bareng antara LSM, PBSP, Pemerintah Daerah dan Lembaga Dana. Pemerintah Daerah menyediakan lahan, dengan sewa ringan dengan perjanjian lahan ini tidak akan digunakan selama 50 tahun. PBSP menjadi pelaksana program dan juga fasilitator penyediaan dana untuk kegiatan penampungan dan fasilitas sosial. Uni Eropa mendukung dana fasilitas unum dan sejumlah dana bergulir bagi pembanguan rusun. Sementara ADB dan Japan Fund for Poverty Reduction memberikan dukungan untuk pembangunan rumah.

Disain bangunan dan konstruksi dibantu oleh Habitat for Humanity International (HHI) dan pengerjaannya dilakukan bersama dengan calon pemilik rumah. Dalam proses pembanguna rusun ini yang mencapai 3 bulan, setiap calon pemilik rumah harus ikut bergotong royong, minimal 400 jam kerja selama proses berlangsung Calon pemilik dapat ikut dalam pembuatan bataco, pengerjaan konstruksi, finishing sesuai dengan ketersediaan waktu mereka dan keterampilan yang dimiliki. Keikutsertaan mereka dapat berlangsung pada hari Sabtu dan Minggu dan atau beberapa jam sehari pada hari yang lain. Pada hari Sabtu dan Minggu sejumlah volunteers dari HHI datang bergotong royong dalam membantu pembangunan ini.

Tipe konstruksi utama balok beton dan dengan lantai beton. Dinding menggunakan bataco dengan pola intersection. Tiap lantai tidak menggunakan plafon. Tidak ada komponen utama yang menggunakan kayu, termasuk kusen. Hanya pintu yang menggunakan kayu. Atap dengan konstruksi kasau besi dan bahan fiber.

Di lokasi perumahan ini sejak tahun 2002 telah berdiri paguyuban warga. Paguyuban warga periode ke 2 ini dipimpin oleh Presiden Wanita. Peran paguyuban dalah dalam hal perumusan aturan dan kesepakatan bertetangga yang tinggal di Rusun ini, pertemuan reguler antara warga, keamanan , kebersihan, pengaturan fasilitas umum. Termasuk pengelolaan listrik, air bersih dan sampah.


DGR Penggerak Keswadayaan Masyarakat

Belajar dari Sleman

Kunjungan lapangan bersama Drs. H.Ibnu Subiyanto, Akt, Bupati Sleman pada tanggal 6 dan 7 Februari 2005 yang lalu memberikan sejumlah manfaat memperkaya pengalaman nyata. Petikan pengalaman itu ditulis dalam beberapa topic, yang pertama adalah “Dari Sleman Untuk Aceh” yang telah dimuat di situs http://www.bmsfoundation.or.id/, dan “ Proses Edukasi Melalui Candak Kulak, Petikan pengalaman dari Sleman” 24 Februari 2005 dimuat di situs http://www.akm.or.id/. Tulisan ketiga ini “ DGR Penggerak Keswadayaan Masyarakat, Belajar dari Sleman” di muat dalam situs http://www.akppi.org/ ini dan mungkin juga secara utuh dimuat di http://www.bmsfoundation.or.id/

Gerakan Swadaya
Masyarakat di 4 Desa yang terbagi dalam 91 dukuh di kecamatan Berbah, Kabupaten sleman telah mampu menggali swadaya masyarakat untuk kegiatan peningkatan kualitas lingkungan. Dana Gotong Royong (DGR) yang diberikan oleh Pemda Kabupaten Sleman sebesar Rp 92,8 juta telah berhasil menggerakkan swadaya masyarakat yang mencapai Rp. 591,1 juta. Kegiatan peningkatan kualitas lingkungan itu berupa pengaspalan jalan lingkungan, pemasangan conblock jalan desa, pemasangan talut saluran, pengerasan jalan dan juga rehabillitasi sarana ibadah, Mesjid.

Misalnya di desa Sangrahan sedang berlangsung pemasangan conblock di beberapa lokasi . Di Dukuh Sangrahan Krikilan, berlangsung telah selesai pemasangan conblock di jalan lingkungan sepanjang 1110 m2 dengan dukungan dana P2PMD Rp. 25,2 juta dan berhasil menggalang partisipasi masyarakat sebesar Rp. 18 juta. Demikian juga di dukuh Berbah kelurahan Tegal Tirto rampung peningkatan kualitas jalan lingkungan dengan pemasangan conblock 2.200 m2. Dana stimulasi diperoleh dari PT Angkasa Pura Rp 6 juta dan sebanyak Rp. 45,25 juta dari swadaya masyarakat.

Berhasilnya penggalangan dana masyarakat sebesar itu dengan beberapa cara dan tidak hanya dalam bentuk dana tunai, diantaranya adalah “Gotong Royong semua warga di bagi dalam kelompok se-usai mereka bekerja , jam 17.29.30 setiap hari, secara bergiliran. Setiap kelompok rata-rata 75 orang, pada hari libur mencapai 150 orang. Konsumsi dukungan dari Ibu PKK”, Tutur H M Jufri, Lurah Desa Tegal Tirto. Pengumpulan dana dari masyarakat dalam beberapa lain, seperti akumulasi dari dana ronda, dana jimpitan Rp 500 per keluarga, dana iuran bulanan, dana iuran kendaraan roda empat dan gerakan penggalangan dana secara khusus, tambah Lurah Tegal Tirto.
Demikian juga di Dusun Pondok Suruh, Desa Bromartani, Kecamatan Ngemplak, sudah mulai menggalang dana swadaya untuk pemasangan conblock jalan lingkungan seluas 1.000 m2 dan telah berhasil mengumpulkan dana swadaya Rp. 10.900.000.
Dana Gotong Royong

Realisasi kesawadayaan masyarakat di berbagai dusun itu, didorong oleh penyediaan Dana Bantuan Gotong Royong yang disiapkan Pemda Sleman. Penyediaan DGR adalah sebuah inisiatif dalam APBD Kabupaten sejak tiga tahun yang lalu. DGR ini disiapkan untuk tiap dusun sebesar Rp 1 juta pada tahun 2003, kemudian pada tahun 2004, Rp 2.250.000 per dusun dan pada tahun 2004 sebesar Rp 2,5 juta per dusun. Tahun 2005 ini masih dalam pembahasan DPRD Kabupaten Sleman, paling tidak sama dengan tahun 2004.
Jumlah dusun yang memperoleh dana ini 1.212 dusun, padahal tahun 2003 masih sebanyak 1.100 dusun yang berada di 86 desa/kelurahan. Kabupaten Sleman dengan penduduk 869.00 jiwa, sekitar 24 % masih termasuk miskin


Dalam kunjungan lapangan yang berlangsung Ibnu Subiyanto membeberkan stimulans lanjutan dalam bentuk aspal dan semen. Pemberian aspal berkisar antara 25 hingga 75 drum dan semen berkisar dari 50 hingga 150 sak, yang disesuaikan dengan volume kegiatan yang sedang dijalankan oleh masyarakat. Sebagai contoh untuk pembuatan talud di Karang Asem, Sekarsuli, Desa Sendang Tirto, diberikan bantuan 100 sak semen Untuk program pengaspalan jalan di Dusun Klancingan, Widodo Mardan, diberikan bantuan 30 drum aspal. Bantuan berikutnya 30 drum aspal akan diberikan oleh Bupati, bilamana pengerjaan jalan oleh masyarakat rampung dan dengan hasil baik.

Barangkali banyak makna yang tersirat dalam kegiatan swadaya masyarakat di berbagai dusun di Kabupaten Sleman, yang didorong oleh dukungan pemerintah daerah. Makna utama adalah, bahwa masyarakat mempunyai kesadaran untuk menata lingkungannya sendiri. Kesadaran yang telah ada semakin berlipat ganda dalam berbagai bentuk, baik dalam kontribusi tenaga untuk gotong royong, iuran regular dan kontribusi spontan. Dipihak lain, kondisi dan dinamika yang telah tercipta di tengah masyarakat itu, semakin meningkat dengan adanya apresiasi dan dukungan oleh pemerintah. Dalam hal ini Pemda Kabupaten Sleman, memberikan apresiasi & dukungan dalam penyediaan DGR, bantuan aspal, semen dan stimulans lainnya.