Saat ini,
orientasi nilai budaya orang Minangkabau semakin tidak jelas. Hal ini antara lain
tercermin dari tidak jelasnya posisi gender pada kekerabatan matrineal serta tidak adanya pranata budaya yang
mencakup seluruh alam Minangkabau yang berfungsi secara maksimal.
Sementara itu, nama besar orang
Minang, yang selama ini selalu mewarnai pentas
nasional, kini hanya tinggal kenangan. Hal tersebut disebabkan oleh karena
terjadi degradasi kepemimpinan orang Minang, mulai
dari tingkat lokal hingga nasional. Hal tersebut sangat disayangkan,
karena tidak ada upaya
generasi muda
Sumatera Barat untuk membangun kebesaran seperti masa
lalu, yang terjadi malah sebaliknya yakni, membangun kesadaran sejarah
palsu.
Kondisi tersebut di atas di perparah lagi oleh kebudayaan
lokal, yang tidak lagi
mampu berperan sebagai benteng moral di tengah masyarakat, makin derasnya pengaruh negatif globalisasi, yang nyata-nyata
merupakan ancaman kian memudarnya
semangat tradisi lokal.
Kekhawatiran itu juga
muncul akibat perkembangan informasi dan teknologi serta dampak globalisasi
yang bila tidak diluruskan maka diyakini generasi mendatang
tidak lagi mengenal sendi-sendi budaya Minangkabau.
Tradisi-tradisi seni budaya yang berbudi luhur
setidaknya diharapkan dapat mengangkat harkat dan martabat, sehingga perlu
dipertahankan dan dikembangkan, karena seni ini sekaligus sebagai benteng moral untuk menghadapi berbagai
pengaruh negatif dari globalisasi.
Panakiak pisau sirawuik
Batungkek batang
lintabuang
Salodang ambiak ka
niru
Sa titiak jadikan
lawuik
Sa kappa jadikan
gunuang
Alam ta kambang jadikan guru
Filosofis yang terkandung dalam
bait-bait di atas, apabila dikaji secara seksama sangatlah dalam maknanya. Dan
makna tersebut juga yang mendorong penerbitan buku yang berjudul
"Mustika Adat Alam Minangkabau" ini. Karena setidaknya kehadiran buku ini diharapkan akan dapat menjawab sebagian persoalan di atas.
Semua
itu juga tidak lepas dari kegundahan serta kekhawatiran akan kehilangan, jika adat tergilas
serta syarak yang tidak kunjung bangkit lagi. Maka disinilah titik persoalan
dimulai, karena Minangkabau akan bertukar tuan, dimana adat hanya akan dijadikan barang pajangan, terkunci dalam musium. Dari itu, jadikan masa lalu sebagai pelajaran yang bisa dipetik untuk kemajuan masa sekarang dan akan datang.
Dalam rangka
itulah buku ini diterbitkan yang
bermuara kepada tujuan:
·
Menggali kembali nilai-nilai budaya Minangkabau
untuk menyelamatkan peninggalan budaya dari nenek moyang kita.
·
Memberikan kontribusi pemikiran yang bersumber dari Adat Alam Minangkabau. Dari
situ diharapkan buku ini menjadi salah satu acuan bagi generasi penerus
kedepan.
·
Sosialisasi
budaya kepada masyarakat dalam menyikapi setiap perubahan budaya ditengah hegemoni budaya Barat.
·
Mendokumentasikan
gagasan-gagasan yang konstruktif yang berwawasan jauh kedepan untuk melestarikan budaya yang menjadi ciri khas dari suku bangsa yang ada di negeri ini.
Mandaki bukik ka
panasan
Manurun ngarai si anok
Ta tumbuak di
parantian
Di tapi tumbuah rimbo
lalang
Di susun gurindam di
ambahkan
Antah buruak antah mo
elok
Hutang di ambo manyampaikan
Tujuan baiak nan kito hadang
Cakupan isi buku ini terdiri dari
delapan bahagian yakni; Bagian Pertamo “Nan Tasirek”, Bagian Kaduo “Urang
Sumando”, Bagian Ketigo “Nasihat dan Asal Usul”, Bagian Kaampek “Tujuah
Kalarasan”, Bagian Kalimo “Tantang Pangulu”, Bagian Kaanam “Mulo Pasambahan dan
Batimbang Tando”, Bagian Katujuah “Pasambahan Baralek”, dan
bahagian terakhir yakni Bagian Salapan
adalah “Sejarah Minangkabau”.
Pada bahagian awal dukungan dan sambutan dari
Pengurus Gebu Minang Pusat dan Badan Pembina
YPMUI. Secara khusus dalam lampiran
disertakan; Daftar Pustaka, Profil Yayasan BMS dan YPMUI dan profil Penulis, publikasi dan Editor.
Tentu saja dalam buku ini ditemukan sejumlah kekurangan
dan kejanggalan. Untuk itu kami harapkan saran dan masukkan dari seluruh
masyarakat Minangkabau dan masyarakat
pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar