Jumat, 30 Oktober 2015

MENANTI MAUT, MARTHIAS PANDU

Otodidak
            
            












Hotel Pangeran, Padang, 9 Mei 2015 menjadi saksi atas  hamba Allah yang telah berkarya sebagai wartawan sejak usia muda. Hari itu berlangsung  Peringatan Hari Pers  Nasional Sumatera Barat dengan peluncuran buku terakhir H Marthias Pandu (MDP)  “ Menanti Maut”.   Buku lebih 300 halaman ini merupakan antologi karangan Marthias Pandu yang belum sempat diselesaikan, ia dipanggil Allah sehari sebelum ulang tahun nya ke 84. Naskah yang sudah tertata baik disunting oleh anaknya Yudha Pandu, diterbitkan oleh Insan Mulia, Publising, Jakarta.

            Di mata Yudha, almarhum merupakan sosok pekerja keras, bermasyarakat dan aktif berorganisasi, bahkan saking cintanya terhadap dunia jurnalistik, di usia senjanya, Pandoe masih tetap berkarya menuangkan pemikiran dan kontribusinya dalam dunia  tulis menulis.

            MDP lahir di Kampung Lawang, Agam, 10 mei 1930. Pandoe merupakan wartawan senior yang berkarya untuk harian Kompas sejak 1970 sampai 1998. Dia adalah seorang wartawan tanpa satu pun gelar akademis jurnalistik yang dimiliki, namun karyanya sebagai wartawan mendapat apresiasi baik dari berbagai pihak.

            Jika ia mengkritik atau mengomentari suatu persoalan, karena berdasarkan fakta, punya catatan dan data sejarah yang baik serta argumentasi kuat. Melihat pendidikan formal yang dimilikanya hampir tidak masuk akal jadi “ratu dunia” sebutan untuk wartawan masa silam. Kemudian beralih nama jadi “kuli tinta”

Karya Besar

             Pada usia ke 80 tahun (2010, MDP  meluncurkan buku “Jernih Melihat Cermat Mencatat” saat itu dihadiri tokoh-tokoh pers nasional. Bagi Pandoe, menulis harus terus dilakukan, meski tak lagi bekerja pada perusahaan pers. Menulis juga bisa menghindari dari kepikunan. “Pensiun dari wartawan boleh saja, tapi pensiun untuk menulis, bagi seorang wartawan sejati itu tidak mungkin bisa, serdadu tidak akan pernah mati” ungkap MDP  ketika berbincang dengan Padang Ekspres, 31 Desember 2013. Menerbitkan buku kumpulan tulisannya yang berjudul, A Nan Takana (2001),  diterbitkan Kompas Jakarta.
           
            Ketika pulang ke  Sumbar, dia mendirikan suratkabar media Aman Makmur. Media ini bertujuan membakar semangat juang masyarakat Sumbar, “Kami mencoba memberitakan kejadian-kejadian, serta suara-suara masyarakat Sumbar untuk bangkit”  kata MDP  ketika itu. Bahkan, saking kritis medianya sering diperingatkan pemerintah dan ditutup sementara, bahkan dibrangus. “Namun itu bukan hambatan bagi kami untuk mengedepankan perjuangan masyarakat Sumbar” tambahnya.

            Kami ingat betul ucapan MDP. “Kejujurab dan Integritas, sangat penting bagi seorang wartawan, Kemudian baru kecerdasan kurang  bisa diterima dan belajar, tapi kalau tidak jujur dan tidak berintegritas, ini tidak bagus bagi dunia wartawan.

            Menyimak  MDP hingga akhir hayatnya,  bisa dipetik  butir yang  bermakna terhadap profesi jurnalistik. Menjadi seorang jurnalis tantangannya adalah membangun kekuatan diri dengan kejujuran dan integritas tinggi. Kemudian baru diikuti oleh kecerdasan atau wawasan yang luas, sehingga bisa melihat persoalan dengan jernih dan cermat dalam mencatatnya sehingga menjadi informasi yang tepat bagi masyarakat.

            MDP  bekerja sebagai jurnalis pertama kali di harian Abadi Jakarta (1952-1955); reporter harian Pemandangan Jakarta (1956-1958). Tahun 1959-1960 kembali menjadi reporter harian Abadi Jakarta. Selanjutnya  pada tahun 1961-1962 dipercaya sebagai Redaktur Pelaksana pada harian Semesta Jakarta. Setahun kemudian (1963-1970) menjadi pemimpin Redaksi harian Aman Makmur di Padang.

            Dari tahun 1970-1990 menjadi koresponden harian Kompas Jakarta dan merangkap Pemimpin Redaksi harian Sriwijaya Post di Palembang. Tahun 1994-1995, menjadi redaktur senior di harian Nustra Post, Bali. Saat memperingati ulang tahunnya yang ke-70.

King Maker

            MDP  adalah wartawan senior, yang dinilah seorang wartawan penting di Indonesia. Saya masih ingat, ketika almarhum meluncurkan buku keduanya di Jakarta, H. Rosihan Anwar (alm) yang dijuluki, “Ayatullah wartawan Indonesia” itu dengan nada berbisik berkata bahwa ia hadir karena “Iko kan acara si Pandoe, kalau indak, ambek cah! / Ini kan acaranya si Pandu, kalau bukan, nytar dulu, atau nggak datang ”. (Ini kan acaranya si Pandu, kalau bukan dia, ya ntar dulu).

            Dikenal sebagai wartawan politik harian Abadi di Jakarta, pimpinan Soeardi Tasrif yang sudah diberangus penguasa, pada awal 1960-an Marthias Doeski Pandoe pulang ke Sumatera Barat bersama Mohammad Dharmalis dan Sjaifullah Alimin. Tiga serangkai wartawan ibu kota itu pulang kampung karena mendapat tugas dari Menteri Pedatam Chaeful Saleh dan Menteri Penerangan Mr. Mohanmad Yamin yang kebetulan urang awak untuk menerbitkan sebuah surat kabar untuk membendung pengaruh komunis yang meluas di Sumatera Barat yang saat itu sudah ibarat “nagari nan dialahkan garudo” pasca perang PRRI (1958-1961), serta untuk menegakkan kembali harga diri masyarakatnya. Maka terbitlah harian Aman Makmur di Kota Padang.

            Banyak kisah yang sudah ditulis tentang eksistensi MDP di Sumatera Barat, di antaranya mengenai keakrabannya dengan para pejabat, malahan suaranya didengar sehingga ia dijuluki seorang “King Maker”, berperan dalam proses pengangkatan seseorang untuk jadi kepala daerah seperti gubernur, bupati dan walikota.

            Pengalamannya setelah berbulan-bulan naik bus dan berjalan kaki, ia pun sampai di Lampung, di ujung selatan Pulau Sumatera. Karena saat itu tak  ada kapal, si Pandoe pun nekad naik sebuah biduk (perahu kecil), lalu susah payah mengayuh biduknya di Selat Sunda selama satu bulan, sehingga akhirnya Pandoe merapat di Pulau Jawa, lalu mendapat kerja di ibu kota Jakarta. MDP  itu sangat hebat, dengan kemauan baja dan usahanya yang keras untuk merantau. Ia idola kami yang entah kenapa sejak kecil ingin merantau. Ia idola sebab rantaunya paling jauh di seberang lauik basa.

            Tapi danga diang, gagal di Jakarta indak baa doh. Samo jo karam di lauk basa! Indak kadipagalakkan urang doh. Seorang tetua perantau lain pun nimbrung: “Tapi jan karam di tabek dangka di kampuang, malu awak”

Kritis dan tegas

            Sifat-sifat beliau yang lain yang dapat diteladani adalah pekerja keras dan pantang menyerah. Meski tidak memiliki pendidikan tinggi dan juga tidak mempunyai latar belakang pendidikan jurnalistik, namun mampu dan sukses berkarir di bidang jurnalistik. Selalu menggali ilmu jurnalistik secara otodidak dan selalu membaca buku.

            Meskipun telah memasuki usia pensiun, beliau tidak ingin berpangku tangan dan menyerah melihat keadaan, membaca dan menulis tetap menjadi kegiatan utama. Dalam mengisi kebutuhan rohani, beliaupun tekun dan taat menjalani aktivitas ibadah di masjid. Oleh masyarakat di sekitar jalan karet, beliau diangkat sebagai ketua pengurus masjid Al Hidayah yang tak jauh dari kediaman beliau.

            Menurut beliau, kebiasaan membaca dan menulis itulah yang membuat beliau tidak pikun dan ingatannya tetap tajam. Sedangkan kegiatan di masjid membuat beliau tetap bersemangat, meski terus beranjak tua.

            “Buku adalah guru yang tak pernah marah”, merasa benar dengan ungkapan itu dalam dirinya. Lelaki 80 tahun itu masih saja bergelut dengan guru-gurunya di sebuah ruang perpustakaan pribadi. Tidak hanya sekedar membaca, dia juga terampil menulis, entah itu dari bahan-bahan bacaan atau dari penglihatan dan pengamatan.

            Pemimpin redaksi Kompas dan orang nomor satu Gramedia Group Jacob Oetama menjulikinya sebagai Gubernur Swasta Sumatera Barat. Meski kadangkala disampaikan secara berseloroh, namun  tentu tak sembarangan Jacob Oetama memberi beliau julukan tersebut. Saya menyaksikan sendiri bahwa pengaruh beliau saat itu memang hampir setara dengan Gubernur. Kata-kata dan nasehat beliau memang didengar dan diikuti oleh pejabat-pejabat dan tokoh-tokoh Sumatera Barat saat itu. Mungkin oleh sebab itulah beliau dijuluki sebagai Gubernur Swasta Sumbar oleh pak Jacob.

            Hal yang serupa juga dirasakan oleh mantan ketua PWI Sumbar yang sekarang menjabat sebagai salah seorang komisioner di KPU Sumbar, M Mufti Sjarfie yang juga satu kampung dengan almarhum. Mufti bercerita bahwa Pandoe adalah sosok guru bagi wartawan muda di zamannya. Sosok yang bisa masuk ke segala lapisan tanpa membeda-bedakan membuat ia dikenal banyak orang.

            “Kenal figure, berarti kenal sumber berita, berarti memiliki akses ke sumber informasi. Kemampuan itu termasuk  diperlukan oleh wartawan yang melaksanakan pekerjaannya. Dalam kepustakaan tentang jurnalisme, hal itu disebut fraternization, meskipun kurang pas, boleh diindonesiakan sebagai persaudaraan.

            MDP  memang gampang akrab dengan siapapun, termasuk sumber berita. Keakraban itu modal memperoleh informasi selengkap mungkin. Awal keakraban adalah kepercayaan, trust. Dengan tabiat demikian, tak heran Bung Marthias dikenal, diakrabi, dan disegani oleh berbagai berbagai kalangan” (Jernih Melihat Cermat Mencatat 2010).

            “Mengesankan dalam hati saya tulisan Bung Marthias dalam feature-feature nya, yang tak terbatas minat kesalah satu bidang, tetapi entah karena inklinasinya yang generalis mungkin karena posisinya sebagai koresponden, dia merambah ke semua bidang. Bung Marthias menulis dengan hati dan komitmen demi kemashlahatan umat manusia. Senantiasa tampak ada pergaulan antara apa yang terjadi di luar sana dan apa yang berkecamuk dalam sini, dalam hati. Ia tidak hanya menulis sekedar business as usual, tetapi juga dalam hati”

            “Saya tidak melihat karengkang dalam diri MDP. Yang ada hanya gendeng, kata orang Jawa, gilo-gilo baso, kata orang Padang, dan kreatif, kata orang Jakarta.

Menggagalkan PT. Semen Padang Dijual

                
Almarhum MDP kembali diberikan penghargaan oleh masyarakat Minangkabau dan PT. Semen Padang atas keberhasilannya menggagalkan terjual nya PT. Semen Padang kepada investor asing.  Seperti testimoni Azwar Anas, Basyir Basyar tentang peran Alm. H. Marthias Dusky Pandoe pada tahun 1968 menggagalkan PT Semen Padang dijual ke pihak asing. Almarhum memperoleh penghargaan Jurnalis Award  dari PT Semen Padang 24 Okktober 2015 yang lalu. 


            “Akan tetapi, pengabdian tulus tanpa pamrih, sesuai talenta masing-masing dan semata-mata hanya demi kesejahteraan sesama, inilah yang selama ini beliau tampilkan. Sebuah catatan keteladanannya yang sudah pasti dipuji oleh semua orang. Melengkapi teladan lain dari Datuk Marthias Pandoe ucapan doa sederhana,tetapi sarat makna. Saya melakukan apa yang bisa di kerjakan hari ini tanpa menunda hari esok”

            Kita kehilangan sosok tauladan, mau berbagi dengan integritas jurnalistik yang tinggi. Saya ingat ketika mampir di rumah Mak Pandu (panggilan akrab thd Mamak) betapa semangat hidup dan berkarya yang tinggi. “Bisuak angok den ka di cabuik dek Malaikat, kini masih manulih (Besok nyawa saya akan dicabut Malaikat, hari ini saya masih menulis”. (H. Muchtar Bahar)


Tidak ada komentar: