Otodidak
Hotel Pangeran, Padang, 9 Mei 2015 menjadi saksi atas hamba Allah yang telah berkarya sebagai wartawan sejak usia muda. Hari itu berlangsung Peringatan Hari Pers Nasional Sumatera Barat dengan peluncuran buku terakhir H Marthias Pandu (MDP) “ Menanti Maut”. Buku lebih 300 halaman ini merupakan antologi karangan Marthias Pandu yang belum sempat diselesaikan, ia dipanggil Allah sehari sebelum ulang tahun nya ke 84. Naskah yang sudah tertata baik disunting oleh anaknya Yudha Pandu, diterbitkan oleh Insan Mulia, Publising, Jakarta.
Di mata Yudha, almarhum merupakan
sosok pekerja keras, bermasyarakat dan aktif berorganisasi, bahkan saking
cintanya terhadap dunia jurnalistik, di usia senjanya, Pandoe masih tetap
berkarya menuangkan pemikiran dan kontribusinya dalam dunia tulis menulis.
MDP lahir di Kampung Lawang, Agam,
10 mei 1930. Pandoe merupakan wartawan senior yang berkarya untuk harian Kompas
sejak 1970 sampai 1998. Dia adalah seorang wartawan tanpa satu pun gelar
akademis jurnalistik yang dimiliki, namun karyanya sebagai wartawan mendapat
apresiasi baik dari berbagai pihak.
Jika ia mengkritik atau mengomentari
suatu persoalan, karena berdasarkan fakta, punya catatan dan data sejarah yang
baik serta argumentasi kuat. Melihat pendidikan formal yang dimilikanya hampir
tidak masuk akal jadi “ratu dunia” sebutan untuk wartawan masa silam. Kemudian
beralih nama jadi “kuli tinta”
Karya Besar
Pada usia ke 80 tahun (2010, MDP meluncurkan buku “Jernih Melihat Cermat
Mencatat” saat itu dihadiri tokoh-tokoh pers nasional. Bagi Pandoe, menulis
harus terus dilakukan, meski tak lagi bekerja pada perusahaan pers. Menulis
juga bisa menghindari dari kepikunan. “Pensiun dari wartawan boleh saja, tapi
pensiun untuk menulis, bagi seorang wartawan sejati itu tidak mungkin bisa,
serdadu tidak akan pernah mati” ungkap MDP
ketika berbincang dengan Padang Ekspres, 31 Desember 2013. Menerbitkan
buku kumpulan tulisannya yang berjudul, A Nan Takana (2001), diterbitkan Kompas Jakarta.
Ketika pulang ke Sumbar, dia mendirikan suratkabar media Aman Makmur.
Media ini bertujuan membakar semangat juang masyarakat Sumbar, “Kami mencoba
memberitakan kejadian-kejadian, serta suara-suara masyarakat Sumbar untuk
bangkit” kata MDP ketika itu. Bahkan, saking kritis medianya
sering diperingatkan pemerintah dan ditutup sementara, bahkan dibrangus. “Namun
itu bukan hambatan bagi kami untuk mengedepankan perjuangan masyarakat Sumbar”
tambahnya.
Kami ingat betul ucapan MDP.
“Kejujurab dan Integritas, sangat penting bagi seorang wartawan, Kemudian baru
kecerdasan kurang bisa diterima dan
belajar, tapi kalau tidak jujur dan tidak berintegritas, ini tidak bagus bagi
dunia wartawan.
Menyimak MDP hingga akhir hayatnya, bisa dipetik butir yang bermakna terhadap profesi jurnalistik. Menjadi
seorang jurnalis tantangannya adalah membangun kekuatan diri dengan kejujuran
dan integritas tinggi. Kemudian baru diikuti oleh kecerdasan atau wawasan yang
luas, sehingga bisa melihat persoalan dengan jernih dan cermat dalam
mencatatnya sehingga menjadi informasi yang tepat bagi masyarakat.
MDP bekerja sebagai jurnalis pertama kali di
harian Abadi Jakarta (1952-1955); reporter harian Pemandangan Jakarta
(1956-1958). Tahun 1959-1960 kembali menjadi reporter harian Abadi Jakarta.
Selanjutnya pada tahun 1961-1962
dipercaya sebagai Redaktur Pelaksana pada harian Semesta Jakarta. Setahun
kemudian (1963-1970) menjadi pemimpin Redaksi harian Aman Makmur di Padang.
Dari tahun 1970-1990 menjadi
koresponden harian Kompas Jakarta dan merangkap Pemimpin Redaksi harian
Sriwijaya Post di Palembang. Tahun 1994-1995, menjadi redaktur senior di harian
Nustra Post, Bali. Saat memperingati ulang tahunnya yang ke-70.
King Maker
MDP
adalah wartawan senior, yang dinilah seorang wartawan penting di
Indonesia. Saya masih ingat, ketika almarhum meluncurkan buku keduanya di
Jakarta, H. Rosihan Anwar (alm) yang dijuluki, “Ayatullah wartawan Indonesia”
itu dengan nada berbisik berkata bahwa ia hadir karena “Iko kan acara si
Pandoe, kalau indak, ambek cah! / Ini kan acaranya si Pandu, kalau bukan, nytar
dulu, atau nggak datang ”. (Ini kan acaranya si Pandu, kalau bukan dia, ya ntar
dulu).
Dikenal sebagai wartawan politik
harian Abadi di Jakarta, pimpinan Soeardi Tasrif yang sudah diberangus
penguasa, pada awal 1960-an Marthias Doeski Pandoe pulang ke Sumatera Barat
bersama Mohammad Dharmalis dan Sjaifullah Alimin. Tiga serangkai wartawan ibu
kota itu pulang kampung karena mendapat tugas dari Menteri Pedatam Chaeful
Saleh dan Menteri Penerangan Mr. Mohanmad Yamin yang kebetulan urang awak untuk
menerbitkan sebuah surat kabar untuk membendung pengaruh komunis yang meluas di
Sumatera Barat yang saat itu sudah ibarat “nagari nan dialahkan garudo” pasca
perang PRRI (1958-1961), serta untuk menegakkan kembali harga diri
masyarakatnya. Maka terbitlah harian Aman Makmur di Kota Padang.
Banyak kisah yang sudah ditulis
tentang eksistensi MDP di Sumatera Barat, di antaranya mengenai keakrabannya
dengan para pejabat, malahan suaranya didengar sehingga ia dijuluki seorang
“King Maker”, berperan dalam proses pengangkatan seseorang untuk jadi kepala
daerah seperti gubernur, bupati dan walikota.
Pengalamannya setelah berbulan-bulan
naik bus dan berjalan kaki, ia pun sampai di Lampung, di ujung selatan Pulau
Sumatera. Karena saat itu tak ada kapal,
si Pandoe pun nekad naik sebuah biduk (perahu kecil), lalu susah payah mengayuh
biduknya di Selat Sunda selama satu bulan, sehingga akhirnya Pandoe merapat di
Pulau Jawa, lalu mendapat kerja di ibu kota Jakarta. MDP itu sangat hebat, dengan kemauan baja dan
usahanya yang keras untuk merantau. Ia idola kami yang entah kenapa sejak kecil
ingin merantau. Ia idola sebab rantaunya paling jauh di seberang lauik basa.
Tapi danga diang, gagal di Jakarta
indak baa doh. Samo jo karam di lauk basa! Indak kadipagalakkan urang doh.
Seorang tetua perantau lain pun nimbrung: “Tapi jan karam di tabek dangka di
kampuang, malu awak”
Kritis dan tegas
Sifat-sifat beliau yang lain yang
dapat diteladani adalah pekerja keras dan pantang menyerah. Meski tidak
memiliki pendidikan tinggi dan juga tidak mempunyai latar belakang pendidikan
jurnalistik, namun mampu dan sukses berkarir di bidang jurnalistik. Selalu menggali
ilmu jurnalistik secara otodidak dan selalu membaca buku.
Meskipun telah memasuki usia pensiun,
beliau tidak ingin berpangku tangan dan menyerah melihat keadaan, membaca dan
menulis tetap menjadi kegiatan utama. Dalam mengisi kebutuhan rohani, beliaupun
tekun dan taat menjalani aktivitas ibadah di masjid. Oleh masyarakat di sekitar
jalan karet, beliau diangkat sebagai ketua pengurus masjid Al Hidayah yang tak
jauh dari kediaman beliau.
Menurut beliau, kebiasaan membaca
dan menulis itulah yang membuat beliau tidak pikun dan ingatannya tetap tajam.
Sedangkan kegiatan di masjid membuat beliau tetap bersemangat, meski terus beranjak
tua.
“Buku adalah guru yang tak pernah
marah”, merasa benar dengan ungkapan itu dalam dirinya. Lelaki 80 tahun itu
masih saja bergelut dengan guru-gurunya di sebuah ruang perpustakaan pribadi.
Tidak hanya sekedar membaca, dia juga terampil menulis, entah itu dari
bahan-bahan bacaan atau dari penglihatan dan pengamatan.
Pemimpin redaksi Kompas dan orang
nomor satu Gramedia Group Jacob Oetama menjulikinya sebagai Gubernur Swasta
Sumatera Barat. Meski kadangkala disampaikan secara berseloroh, namun tentu tak sembarangan Jacob Oetama memberi
beliau julukan tersebut. Saya menyaksikan sendiri bahwa pengaruh beliau saat
itu memang hampir setara dengan Gubernur. Kata-kata dan nasehat beliau memang
didengar dan diikuti oleh pejabat-pejabat dan tokoh-tokoh Sumatera Barat saat
itu. Mungkin oleh sebab itulah beliau dijuluki sebagai Gubernur Swasta Sumbar
oleh pak Jacob.
Hal yang serupa juga dirasakan oleh
mantan ketua PWI Sumbar yang sekarang menjabat sebagai salah seorang komisioner
di KPU Sumbar, M Mufti Sjarfie yang juga satu kampung dengan almarhum. Mufti
bercerita bahwa Pandoe adalah sosok guru bagi wartawan muda di zamannya. Sosok
yang bisa masuk ke segala lapisan tanpa membeda-bedakan membuat ia dikenal
banyak orang.
“Kenal figure, berarti kenal sumber
berita, berarti memiliki akses ke sumber informasi. Kemampuan itu termasuk diperlukan oleh wartawan yang melaksanakan
pekerjaannya. Dalam kepustakaan tentang jurnalisme, hal itu disebut
fraternization, meskipun kurang pas, boleh diindonesiakan sebagai persaudaraan.
MDP memang gampang akrab dengan siapapun, termasuk
sumber berita. Keakraban itu modal memperoleh informasi selengkap mungkin. Awal
keakraban adalah kepercayaan, trust. Dengan tabiat demikian, tak heran Bung
Marthias dikenal, diakrabi, dan disegani oleh berbagai berbagai kalangan” (Jernih
Melihat Cermat Mencatat 2010).
“Mengesankan dalam hati saya tulisan
Bung Marthias dalam feature-feature nya, yang tak terbatas minat kesalah satu
bidang, tetapi entah karena inklinasinya yang generalis mungkin karena
posisinya sebagai koresponden, dia merambah ke semua bidang. Bung Marthias
menulis dengan hati dan komitmen demi kemashlahatan umat manusia. Senantiasa
tampak ada pergaulan antara apa yang terjadi di luar sana dan apa yang
berkecamuk dalam sini, dalam hati. Ia tidak hanya menulis sekedar business as
usual, tetapi juga dalam hati”
“Saya tidak melihat karengkang dalam
diri MDP. Yang ada hanya gendeng, kata orang Jawa, gilo-gilo baso, kata orang
Padang, dan kreatif, kata orang Jakarta.
Menggagalkan PT. Semen Padang Dijual
Almarhum MDP kembali diberikan penghargaan oleh masyarakat Minangkabau dan PT. Semen Padang atas keberhasilannya menggagalkan terjual nya PT. Semen Padang kepada investor asing. Seperti testimoni Azwar Anas, Basyir Basyar tentang peran Alm. H. Marthias Dusky Pandoe pada tahun 1968 menggagalkan PT Semen Padang dijual ke pihak asing. Almarhum memperoleh penghargaan Jurnalis Award dari PT Semen Padang 24 Okktober 2015 yang lalu.
“Akan tetapi, pengabdian tulus tanpa
pamrih, sesuai talenta masing-masing dan semata-mata hanya demi kesejahteraan
sesama, inilah yang selama ini beliau tampilkan. Sebuah catatan keteladanannya
yang sudah pasti dipuji oleh semua orang. Melengkapi teladan lain dari Datuk
Marthias Pandoe ucapan doa sederhana,tetapi sarat makna. Saya melakukan apa
yang bisa di kerjakan hari ini tanpa menunda hari esok”
Kita kehilangan sosok tauladan, mau
berbagi dengan integritas jurnalistik yang tinggi. Saya ingat ketika mampir di
rumah Mak Pandu (panggilan akrab thd Mamak) betapa semangat hidup dan berkarya
yang tinggi. “Bisuak angok den ka di cabuik dek Malaikat, kini masih manulih (Besok
nyawa saya akan dicabut Malaikat, hari ini saya masih menulis”. (H. Muchtar
Bahar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar